Masa kampanye menjadi saat yang paling dinanti oleh masyarakat. Di sinilah tempatnya untuk ngasih dukungan kepada para kontestan pemilu. Sekaligus ajang yang pas buat nyari kaos atau souvenir gratisan. Asyiknya lagi, banyak calon wakil rakyat yang tiba-tiba jadi dermawan. Mereka rela merogoh kocek buat rehab mushola, bantuan sembako, sampe biaya bangun TPS demi menjaring simpati masya-rakat. Para peserta pemilu juga gencar bikin acara bakti sosial, panggung musik, tempel stiker, pasang spanduk sampe konvoi kenda-raan bermotor. Pokoknya meriah euy!
Biar kampanye sukses, pasti yang satu ini nggak boleh ketinggalan dan kudu ngalir deras. Yup, apa lagi kalo bukan: duit! Benda ini memang ajaib. Bisa masang spanduk, nempelin poster, diriin warung, bikin souvenir sampe pengerahan massa. Makanya nggak heran kalo tim sukses kontestan pilpres getol berekspe-disi mencari penampakkannya.
Kalo menurut UU Pemilihan Presiden No. 23/2003, dana kam-panye Pilpres 2004 berasal dari 3 sumber yaitu dari capres sendiri, dari parpol yang mencalonkan dan dari pihak lain yang tidak mengikat seperti perseorangan dan badan usaha. Dari semua sumber, kayaknya aliran dana dari pihak ketiga yang mendominasi. Malah bisa meli-batkan pihak asing. Nah lho? Nggak bo'ong.
Sekjen Government Watch (GOWA) Andi Syahputera menuturkan, aliran dana asing dalam pemilu sudah menjadi rahasia umum, karena sudah terjadi sejak zaman Soeharto berkuasa. “Cuma permasalahan-nya, untuk membongkar aliran dana asing ini sangat sulit dilakukan dan susah dicari pembuktiannya”. Biasanya aliran dana asing itu berasal dari pengusaha-pengusaha Cina, AS, dan Eropa yang punya kepentingan bisnis di Indonesia. Mereka ini sangat menginginkan pemimpin Indonesia yang bisa menstabilkan kondisi ekonomi dan keamanan di dalam negeri, untuk mengamankan bisnis mereka di Indonesia.
Nggak ketinggalan, janji-janji surga dari para kontestan pun mewarnai masa kampanye. Mewujudkan cita-cita reformasi, penyediaan lapangan kerja, meminimalisasi biaya pendi-dikan, pemberantasan KKN, peningkatan taraf ekonomi, sampai upaya pengentasan kemis-kinan begitu laku ‘dijual' oleh para jurkam (juru kampanye lho bukan juragan kambing!). Sayangnya, nggak ada satu pun partai politik Islam atau kontestan pilpres yang terang-terangan berani menyuarakan Islam dan mengkritisi sistem sekular. Gaung penerapan syariat Islam nyaris tak terdengar saat kampanye. Padahal mereka punya kesempatan untuk itu. Apa karena ‘dagangan' syariat Islam nggak laku ‘dijual' di atas panggung kampanye? Hmm…bisa jadi tuh!
Udah gitu, masa kampanye yang idealnya jadi ajang untuk mengenal lebih dekat calon yang akan dipilih, minim dari pemaparan visi, misi, dan program yang akan dijalankan. Malah salah satu peserta pilpres dari moncong putih menuturkan tak perlu menyampaikan visi, misi, serta prog-ram yang akan dilakukan ca (wa) pres jika terpilih mengingat masa kam-panye yang hanya satu bulan. ( Republika , 19/06/04). Lha, piye iki ?
Perbaikan di bawah panji demokrasi?
Hey kawanku semua, pemilu dan perubahan udah dinobatkan jadi dua sejoli dalam pemerintahan demokrasi. Nggak ada perubahan formasi para pejabat pemerintahan tanpa melalui proses pemilihan wakil rakyat ini. Baik anggota dewan, presiden, wakilnya, maupun susunan kabinet. Melalui pemilu, diharapkan para new comer emang orang yang dikehendaki oleh rakyat. Biar mampu menyalurkan aspirasi rakyat dan nggak lupa memperjuangkan hak-hak rakyat yang terkikis oleh para kapitalis. Sesuai mottonya, “dari rakyat-oleh rakyat-dan untuk rakyat.”
Sayangnya, motto pemerintahan rakyat itu sering nggak muncul dalam pemerintahan pascapemilu. Para kapitalis yang ikut ‘patungan' untuk membiayai kampanye bakal minta bagian. Dari jatah jabatan pemerintah yang strategis, kewenangan mengelola sumber daya alam, hingga kekebalan hukum atas bisnis yang mereka jalankan. Para wakil rakyat pun akan mendapat banyak ‘rezeki nomplok' dari para kapitalis itu agar kebijakan pemerintah yang dikeluarkan berpihak padanya. Sementara kewajiban mengurusi rakyat yang ada di pundak anggota dewan cuma masuk daftar tunggu prioritas. Makanya pas banget kalo kita bilang motto itu diubah menjadi “dari rakyat kecil (masyarakat) oleh rakyat menengah (para wakil rakyat) dan untuk rakyat besar (para konglomerat)”. Akur? Kudu!
Kawanku semua,,, pelaksanaan pemilu dalam bingkai demokrasi di setiap negeri Islam khususnya, semata-mata untuk melanggeng-kan sistem sekular itu. Buktinya, parpol pemenang pemilu atau wakil rakyat yang terpilih nggak boleh ngotak-ngatik falsafah negara dan UUD yang menjadi asas negara. Apalagi sampe menggantinya dengan aturan yang nggak sekular. Bisa berabe urusannya. Karena bertentangan dengan UU pemilu dan UU parpol yang udah disahkan. Karena itu, kita nggak akan pernah menjumpai perbaikan kondisi di bawah bendera demokrasi. Percaya deh!
pemilu boleh berlalu, tapi perjuangan kita nggak boleh surut. Kudu tetep berlanjut. Iya dong, selama hayat masih dikandung badan, selama itu pula perlawanan kita kobarkan. Sehingga hari-hari kita dipenuhi aktivitas yang muliademi rakyat. Makanya rugi banget buat orang yang hidup tanpa aktivitas penyadaran.
Tapi inget, kita juga kudu siap ngadepin masalah dalam memberikan penyadaran. Terutama dengan lingkungan tempat kitamenfgorganisir. Rumah, keluarga, sekolah, kampus, atau tempat kerja. Apalagi saat kita cobapercaya bahwa perobahan ada ditangan rakyat. Akan selalu ada pihak yang beda pendapat dengan kita. Dari yang biasa sampe yang bikin sewot. Ada yang ngomong kalo saat ini udah gak relefan lagi ngomong revolusi,,
Yang penting buat kita, adalah berjuang untuk perubahan semaksimal mungkin dengan apa yang kita miliki. Perkara hasil dan risiko yang bakal terjadi,itu udah menjadi konsequensi. Yakinlah bahwa penindasan akan berakhir jikakesadaran ekonomi perlahan-lahan menjadi kesadaran politik. Jadi nggak usah minder apalagi pusing mikirin suara sumbang dalam aktivitas mengorganisir…
Terima kasih sudah singgah di blog ID CREATIVE «« jangan lupa tinggalkan komentarnya "thanks.