Hal yang paling urgensi dalam kemajuan sebuah Negara tidak lain adalah pendidikan. Pendidikan dalam artian pendididkan sebagai alat pembebasan, pembebasan dari buta huruf dan kebodohan, mengutip perkataan Paulo Freire orang yang buta huruf adalah manusia kosong dan itu awal dari penindasan. Bagi Freire, penindasan, apa pun nama dan alasannya, adalah tidak manusiawi (dehumanisasi). Pendidikan sebagai proses dialektika yang akan memanusiakan manusia (humanisasi) merupakan pilihan mutlak.
Kebijakan Negara Yang Menindas
Jelas, ketika dikontekkan dengan potret pendidikan kita tentu akan berbeda jauh. Pendidikan di Indonesia menjadi sesuatu yang eksklusif, artinya pendidikan di Indonesia hanya dapat dinikmati oleh minoritas. Apalagi tengah-tengah krisis ekonomi yang sedang melanda rakyat Indonesia, justru muncul banyak kebijakan dari pemerintahan yang semakin memperpuruk keadaan. Posisi pemerintah yang mengekor pada kepentingan pemodal internasional, sangatlah terlihat jelas dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan-menuju kearah liberalisasi dengan kata lain menjual Indonesia kepada pemodal internasional (Kapitalisme), misalnya kenaikan harga BBM, impor beras, UU no. 11 tentang PMA, UU no. 13. tentang ketenagakerjaan, UU Sisdiknas th 2003, Pepres no. 36 th 2005, RUU BHP, RUU Penanaman Modal,dll.
Subsidi pendidikan 20% yang didengung-dengungkan tidak pernah terialisasikan. Ditambah lagi kebijakan pemerintah tentang otonomi kampus atau yang dikenal dengan istilah BHMN (Badan Hukum Milik Negara) yang diberlakukan bagi kampus-kampus negeri. Akibat mulai terputusnya subsidi, kampus-kampus secara sepihak menaikan biaya semahal-mahalnya untuk mengeruk keuntungan. Seharusnya kampus negeri lebih murah, ternyata justru sekarang semakin mahal Sehingga membuat rakyat tertekan dengan biaya kuliah yang tak terjangkau mayoritas rakyat Indonesia yang notabene dari golongan menengah kebawah.
WTO “Pendidikan Berorientasi Dagang”
Hadirnya PTA (Perguruan Tinggi Asing) di negara kita tidak mungkin dibendung sejak pemerintah meratifikasi (mengesahkan) WTO (World Trade Organization) melalui UU No 7 Tahun 1994. Kita adalah anggota WTO yang berkewajiban menaati segala aturan main yang ada di dalamnya. Karena melalui GATS (General Agreement on Trade in Services) WTO memposisikan pendidikan sebagai jasa yang dapat saling diperdagangkan-dan yang di dalamnya termasuk pendidikan tinggi-maka "perdagangan" jasa pendidikan tinggi akan makin sulit dielakkan. Implikasinya, kehadiran PTA di negara kita akan sulit dibendung.
Secara lebih rinci, di dalam GATS (General Agreement on Tariffs and Trade) disebutkan belasan jasa yang dapat diperdagangkan secara internasional. Salah satu jasa itu adalah pendidikan yang di dalamnya termasuk pendidikan tinggi. Sementara itu, implementasi dari perdagangan jasa pendidikan (tinggi) ini dikemas dalam banyak model, satu di antaranya Model Commercial Presence, yaitu penjualan jasa pendidikan (tinggi) oleh lembaga di suatu negara bagi konsumen yang ada di negara lain dengan mewajibkan kehadiran secara fisik lembaga penjual jasa dari negara itu. Hadirnya PTA dari mancanegara untuk menjual jasa pendidikan tinggi kepada konsumen di Indonesia adalah model-model penjajahan imperialisme untuk proses akumulasi modal.
Dan terbukti belum lama ini dalam work shop “Implikasi kesepakatan WTO”, Indonesia telah membuka ruang kepada 6 negara yaitu AS, Australia, Inggris, Jepang, China dan Korea untuk kerjasama di bidang pendidikan (orientasi jasa). “Selamat datang pemodal” itu yang siap singgah di 5 kota besar yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan dan Yogyakarta. Menteri ekonomi pun sedang menyusun rancangan peraturan presiden tentang bidang usaha tertutup dan terbuka untuk investasi. Dan merujuk RUU BHP maka pemodal asing boleh masuk dengan shere 49%.
Ini jelas, pendidikan kita sudah berorientasi pasar dan kita sebagai pelajar atau pun mahasiswa dijadikan komuditi-komuditi yang siap dilempar kepasar. Jika dilihat, proses kapitalisasi pendidikan adalah sebuah kepentingan besar dari kapitalisme dan akan selalu melanggengkan dominasinya melalui infiltrasi modalnya. Kapitalisme dalam hal penguasaan aset-aset SDA dan energi (Exxon Mobil oil, Caltex, Santana Fe, Chevron, Conocco Pholips, Newmont,dll), tentunya pendidikan akan disetting untuk melahirkan tenaga-tenaga penggerak laju modal yaitu sebagai buruh.
Kebijakan Kampus Yang Tidak Demokratis
Pendidikan sebagai kepentingan kapitalisme dan Negara sebagai bonekanya, maka penguasa kampus (Birokrasi Kampus) adalah kepanjangan tangan yang bersentuhan langsung dengan mahasiswa. Dari bentuk kapitalisasi pendidikan sampai tindak represifitas kebijakan tanpa melibatkan mahasiswa adalah hal yang tidak demokratis dan sudah banyak kebijakan kampus yang ditelurkan. Adanya DPP dan kenaikan SPP, tidak ada dispensasi dalam pembayaran SPP dan kebijakan Droup Out (D.O), Absensi 75%, adanya jam malam, dan birokrasi pun memakai logika pengusaha yang merepresif buruh dengan menyodorkan kontrak belajar yaitu Kode Etik bermatre Rp. 6000.
Perampasan hak-hak mahasiwa oleh birokrasi kampus sengaja diciptakan untuk pengabdian kepada sang kapitalisme internasional. Sehingga yang dirugikan tidak lain adalah mahasiswa. Oleh karena itu mahasiswa harus merapatkan diri dengan berserikat untuk menggalang kekuatan, membentuk Front persatuan untuk mengkawal seluruh kebijakan dan mendorong arahan Demokratisasi kampus serta pengkapayekan isu-isu pendidikan (Pendidikan Gratis, Ilmiah, Demokratis Dan Mengabdi Pada Kepentingan Rakyat) secara terus-menerus kesemua Civitas Adamika Kampus.
Mendesak Bagi Rakyat
Mengkutip apa yang pernah di katakana oleh tokoh pendidikan kita Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan bukanlah mengejar gelar atau pun pekerjaan, akan tetapi menemukan jati diri yang benar-benar merdeka dan bermartabat. Sebetulnya, yang dibutuhkan adalah ilmu yang dapat disumbangkan kepada Bangsa Negara dan pengabdian pada rakyat.
Maka tuntutan mendesak bagi rakyat adalah agar pemerintah segera melaksanakan program: (1) Pendidikan Gratis, pembebasan biaya untuk semua jenjang pendidikan, (2) Ilmiah, pendidikan yang berorientasi ilmu pengetahuan, (3) Demokratis, pendidikan gaya kolonialisme dan kapitalistik secepatnya ditinggalkan diganti iklim yang demokratis yaitu keyakinan yang mendalam dan hakiki akan adanya pengakuan hak-hak kewajiban yang porposional. Disini peserta didik mempunyai kesempatan yang sama dalam memberikan ide dan gagasan serta demokratis dalam pengeluaran kebijakan sekolah atau pun kampus, (4) Dan Mengabdi Pada Rakyat, Ahmadinejad pernah berkata “ saya bukanlah presiden akan tetapi pelayan rakyat”, apalagi Negara kita adalah Negara demokrasi tentunya kepentingan rakyat yang dikedepankan. Sehingga pendidikan kita akan sepenuhnya mengabdi pada kepentingan rakyat yang mengarah terwujudnya kehidupan masyarakat yang demokratis secara politik, adil secara sosial, sejahtera secara ekonomi dan partisipatif secara budaya.
Hal itu dapat terwujud dengan mengambil langkah pemutihan utang luar negeri yang pertahun saja menghabiskan 40% dari APBN, penyitaan harta para kuruptor untuk dialokasikan pada sektor pendidikan, nasionalisasi kembali aset-aset yang menguasai hajat hidup orang banyak, laksanakan Reforma Agraria Sejati, bangun Industrialisasi Nasional yang Kerakyatan, putuskan hubungan dengan lembaga-lembaga imperialis (WTO, World Bank, CGI, IDB, ADB, IMF), bekerja sama dengan Negara lain yang saling menguntungkan dan menjunjung tinggi solidaritas untuk peningkatan kualitas pendidikan. Sehingga pendidikan yang dicita-citakan sebagai alat pembebasan akan terwujud dan tidak ada lagi penindasan.