Masih segar di ingatan kita atas Forum National Summit yang telah usai 3 minggu yang lalu. Tidak banyak memang biaya yang dikeluarkan, hanya 1 milyar, yang sebagian besar dananya ditanggung oleh KADIN. Namun dari segi target, forum rembuk antara pemerintah dengan pemangku kepentingan di republik ini, bersepakat merumuskan jalanya pembangunan ekonomi nasional (Road Map).
Sebagai hasilnya tentu saja Pemerintah telah menerima ratusan masukan untuk dijadikan sebagai bahan perumusan program 100 hari dan 5 tahun ke depan di berbagai bidang produktif dan ekonomi.
Menko Perekonomian Hatta Rajasa yang bertindak sebagai Ketua Pelaksana National Summit mengatakan ada 5 bidang yang dibahas yaitu di bidang Perekonomian, Kesejahteraan Rakyat, Polhukham, Kesehatan dan Pendidikan.
National Summit; Munculkan Konflik Agraria dan Melegalkan Perampasan Hak Rakyat Atas Tanah
Sebenarnya National Summit 2009 kemarin, adalah pertemuan antara pemerintah dengan pengusaha. Jika melihat dari Isi dan rekomendasi yang telah dihasilkan banyak sekali dorongan yang ditawarkan oleh kalangan dunia usaha di Indonesia untuk segera menghapuskan berbagai macam regulasi yang menghambat jalannya pembangunan.
Salah Satu Regulasi yang dinilai sangat menghambat adalah soal Kebijakan Pertanahan, khususnya masalah pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan. Kebijakan pertanahan yang ada saatini dinilai pengusaha masih berbelit-belit dalam pengadaanya serta sangat mahal biayanya.
Gayungpun bersambut dalam program 100 Hari Pemerintahan SBY-Boediono telah mendorong legalisasi RUU Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dan Pembangunan, sebagai salah satu programnya. Karena dasar hukum pengadaan tanah masih sangat lemah yakni Perpres 36/2005 jo. 65/2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum dan Pembangunan.
Persoalanya adalah Apakah dengan didorongnya UU ini akan lebih mendorong kepastian hukum dalam Pengadaan Tanah? Dengan menggunakan UU, memang pengadaan tanah bagi proyek-proyek infrastruktur akan meningkat kepastian hukumnya. Sebab, tanah-tanah milik rakyat dan badan hukum di Indonesia ini diatur dalam UU, mengherankan jika mencabut haknya dan memberi ganti rugi diatasnya hanya dengan Perpres.
Namun, ada laporan yang mengherankan yang dirilis oleh BPN baru-baru ini. Menurut BPN, sedikitnya terdapat 7.1 Juta hektar tanah di Indonesia diindikasikan terlantar. Tanah yang dimaksud ini adalah tanah-tanah yang secara hukum diatur dalam kewenangan hukum BPN. Artinya tanah-tanah diluar kawasan kehutanan. Sebagian besar tanah-tanah tersebut adalah tanah dengan status Hak Guna USaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai.
Sehingga, untuk menyelesaikan persoalan ini, BPN meminta revisi PP.36/1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Bukankah, berdasarkan data-data tersebut sebenarnya terbersit pengadaan tanah bagi kepentingan perusahaan selama ini tidak mengalami hambatan berarti.
Justru patut dipertanyakan itikad baik perusahaan dalam mempergunakan tanah-tanah sesuai peruntukkan perolehan haknya yang harus dikedepankan. Kalau begitu pengadaan tanah selama ini terhambat karena memang para pengusaha yang hendak membangun infrastruktur dan usaha-usaha lainnya tersebut memang tidak mempunyai modal yang cukup dan perusahaan yang membebaskan tanah berbekal izin lokasi selama ini adalah para spekulan tanah.
Kekhawatiran yang sudah sering terjadi adalah UU Pengadaan Tanah akan meningkatkan konflik agraria. Sebab, proyek-proyek yang melintasi pemukiman penduduk akan berakibat sosial ekonomi yang dalam bagi para korban gusuran. Sementara, nilai ganti rugi yang ditawarkan jauh dari harapan untuk memulai kehidupan sosial ekonomi baru yang lebih baik. Belum lagi buruknya administrasi pertanahan telah memperumit masalah ini dan merugikan masyarakat banyak khususnya petani dan warga miskin di pedesaan.
Dalam melihat Proyek Infrastruktur, siapakah yang akan paling diuntungkan dari pembangunan infrastruktur? pemodal besarlah yang akan meraup keuntungan terbesar. Dengan infrastruktur yang lebih baik, maka pembangunan yang dimotori pemodal besar akan eksploitatif, akumulatif, dan ekspansif dalam upayanya melakukan “Perampokan”. Pembangunan infrastruktur sejatinya jembatan menuju penguatan gurita kapitalisme global.
Pembangunan mungkin meningkatkan pendapatan nasional secara makro. Namun, kesuksesan ini semu belaka mengandalkan jika Investasi modal yang kapitalistik karena akan menyisakan ketimpangan sosial-ekonomi, terkurasnya aneka sumber daya, kerusakan lingkungan, diskriminasi gender, ketidakadilan multidimensi pemicu krisis, dan pemantik konflik sosial. Yang tepat dipikirkan sekarang ialah menemukan model pembangunan ekonomi yang bertumpu pada kekuatan bangsa sendiri. Industrialisasi nasional hendaknya berpangkal tolak pada sumber daya sendiri.
Presiden dan DPR hendaknya menindaklanjuti amanat Ketetapan MPR No V/2003 untuk: “menyelesaikan berbagai konflik dan permasalahan di bidang agraria secara proporsional dan adil, mulai dari persoalan hukumnya sampai dengan implementasinya di lapangan…” serta “mempercepat pembahasan RUU pelaksanaan pembaruan agraria, RUU penataan struktur agraria, serta RUU penyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam.”
Kita harus memahami sebagian besar berada di pedesaan, lingkungan kumuh di perkotaan dan daerah-daerah yang jauh (pedalaman) dengan infrastruktur dasar yang sangat buruk. Kemudian kita lihat kembali kalau di pedesaan, sebagian besar mereka adalah petani gurem dan buruh tani. di Jawa saja terdapat 12,5 juta RMT (Rumah Tangga Petani) atau sekitar 50 juta jiwa. Dari jumlah itu, 49% nya tidak memiliki lahan sama sekali. Sementara di luar Jawa, ada sekitar 8 juta jiwa petani yang tidak memiliki lahan. Sedangkan bagi mereka yang memiliki lahan, rata-rata pemilikan lahannya hanya 0,36 hektar. Jadi ada sekitar 32 juta jiwa petani Indonesia sesungguhnya adalah buruh tani dan ada 90 juta jiwa petani gurem.
Hasil National summit kemarin, tidak mengasilkan point penting tentang Pembaruan Agraria dan Menguatkan struktur Industri Nasional, Justru yang Nampak kuat adalah pembangunan Infrastruktur yang menuntut syarat pembebasan lahan dengan pola kemitraan dengan apa yang dinakaman PPP (public private partnership), Monetisasi Tanah dan Di topang dengan Bank Tanah. Sementara di bidang pembangunan Industri belum ada syarat yang cukup kuat untuk menjalankanya karena upaya Pembaruan Agraria tidak dijalankan, bahkan pemerintah makin ofensif dalam meliberalisasi sektor hulu dan sector hilir tumpuan yang menjadi tumpuan industri.
Karenanya, pembangunan infrastruktur sebaiknya digencarkan setelah penataan ulang struktur agraria dijalankan terlebih dahulu. Keadilan agraria akan meningkatkan taraf hidup mayoritas rakyat, menjadi dasar stabil dan kokoh bagi pembangunan, serta merangsang pembentukan modal dalam negeri yang melandasi industrialisasi nasional.
National Summit 2009 : Bukan Menguatkan Industri Nasional Tapi Menegaskan Deindustrialisasi dan Mematikan Gerakan Buruh.
Setelah meningkat tipis tahun lalu, arus Penanaman Modal Asing Langsung (PMAL) ke negara berkembang diperkirakan akan menurun drastis pada 2009 ini dan baru akan berangsur pulih dalam periode 2010-14. Agar dapat bersaing dalam menarik PMAL, negara-negara berkembang dituntut berbenah diri, memperkokoh pasar domestik, menciptakan iklim kondusif bagi investasi dan menghadirkan kelengkapan infrastruktur untuk mengurangi biaya produksi tetap (fixed cost).
Perdagangan dunia akan segera pulih dan kawasan Asia diperkirakan akan pulih lebih cepat dari kawasan lain. Indonesia diperkirakan akan memperoleh manfaat positif dengan pemulihan ekonomi tersebut.
Dalam proses pemulihan dan sesudahnya Indonesia diperkirakan akan lebih menarik bagi investor asing karena: (1) jumlah penduduk besar; (2) tersedia angkatan kerja dengan moproduktivitas yang masih dapat ditingkatkan; (3) tersedia bahan baku; (4) stabilitas politik dan ruang bagi penerapan mekanisme pasar semakin luas; dan (5) biaya yang tak terkait langsung dengan kegiatan ekonomi makin kecil (clean government atau good corporate governance). Dengan ketentuan rule of origin di ASEAN Indonesia akan menjadi lokasi menarik bagi investor dari negara di luar ASEAN yang akan memanfaatkan sumber daya di Indonesia untuk pemasaran di negara-negara ASEAN maupun di luar Asean. Indonesia perlu memberi peluang bagi investor untuk memanfaatkan “kelebihan” ini. Sikap keterbukaan masyarakat perlu dikembangkan agar investor asing merasakan bahwa risiko berusaha di Indonesia semakin rendah.
Dalam Upaya menata struktur industri di Indonesia agar lebih maju, modern dan mampu memenuhi kebutuhanan nasional, sejogyanya yang pertama kali harus dilakukan adalah penataan ulang struktur penguasaan, pemilikan dan pengelolaan Sumber-sumber Agraria dengan azaz berkeadilan dan pro-rakyat. Sehinga tidak menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi penataan ekonomi nasional. Konteks diatas justru tidak tercermin kuat dalam Roadmap Pembangunan Ekonomi Nasional 2009-2014 (KADIN), yang disepakati dalam national summit dan telah dijadikan rujukan pemerintahan SBY-Boediono, ternyata banyak sekali kejangalan (kontradiksi) diantara Visi, Misi, Target dengan operasional lapangan dalam bentuk kebijakan khususnya mengerakkan sector Riil dengan tumpuan investasi.
Menurut Roadmap Kadin Indonesia 2010-2014, untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 6,3%-6,9% per tahun sepanjang 2010 -2014, pemerintah dan dunia usaha harus bisa memenuhi target investasi Rp2.855 triliun-Rp2.910 triliun per tahun. Pandangan pemerintah maupun dunia usaha selama ini mengaitkan target investasi dengan iklim investasi yang kondusif, tidak ada gejolak politik, demonstrasi kaum buruh, dll.
Alasanya dalam roadmap itu adalah, Kebutuhan dana yang besar tersebut perlu ditopang oleh kapasitas pendanaan yang memadai di dalam negeri (justru ini yang tidak ada senyatanya). Peran sektor keuangan domestik (perbankan dan pasar modal) sampai saat ini masih sangat rendah, relatif jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Hal yang sama juga terjadi untuk penanaman modal asing langsung (foreign direct investment/FDI).
Pinjaman dan investasi dari luar negeri tidak bisa dihindari. Namun harus disadari bahwa dalam beberapa tahun terakhir investasi asing masuk ke Indonesia belum mampu menggerakkan sektor riil. Hal ini disebabkan antara lain karena dana asing yang masuk ke Indonesia sebagian besar dalam bentuk investasi portofolio (obligasi pemerintah dan saham). Sementara itu investasi asing langsung seringkali terhambat oleh birokrasi yang berbelit-belit dan pertentangan antara pusat dan daerah.
Untuk lebih meningkatkan sumber pembiayaan yang berasal dari APBN, baik bagi kebutuhan investasi publik maupun peningkatan peran negara dalam pelayanan publik maupun belanja sosial, maka tak ada pilihan kecuali meningkatkan tax ratio dari aras dewasa ini sekitar 12 persen dari PDB menjadi setidaknya 15 persen pada tahun 2014.
Dalam menanggapi persoalan di WTO, Kadin tidak mengkritisi keberedaannya. Padahal jika kita analisa kesepakatan-kesepakatan di dalam WTO sangat melemahkan posisi negara negara berkembang, termasuk Indonesia. Liberalisasi di sektor pertanian yang ada di dalam butir kesepakatan WTO sangat merugikan petani-petani Indonesia. Hal ini tidak pernah mereka kritisi.
Liberaliasi merupakan pencerminan dari kebebasan yang akan membawa ke suatu kondisi yang tidak dapat dibendung oleh Negara manapun didunia ini termasuk Indonesia. Organisasi perdagangan dunia (WTO) sangat mendorong peningkatan perdagangan dunia melalui pemanfaatan revolusi teknologi dan komunikasi, dan menurunkan hambatan arus impor-ekspor. Dengan adanya dorongan ini maka dengan adanya ketidak seimbangan dan perbedaan kekuatan pelaku ekonomi mengakibatkan keuntungan melalui penghapusan hambatan perdagangan dinikmati oleh kelompok kuat atau Negara yang kuat dan melemahkan Negara yang lemah atau Negara kecil dan yang sedang berkembang.
Pada forum WTO juga Negara-negara maju berperilaku munafik antara lain menuntut Negara-negara berkembang membuka pasarnya untuk produksi industry Negara-negara maju, sambil Negara maju tersebut memproteksi produk pertaniannya sendiri dengan cara menetapkan kuota impor dan pajak impor yang tinggi untuk produk-produk pertanian Negara-negara berkembang. Sangat ironis sekali jika Kadin tidak menolak kesepakan-kesepakatan WTO.
Mengenai investasi asing, Pemerintah sangat memberi perhatiaan pada FDI karena aliran investasi masuk dan keluar dari negara mereka bisa mempunyai akibat yang signifikan. Para ekonom dan juga Kadin menganggap FDI sebagai salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi karena memberi kontribusi pada ukuran-ukuran ekonomi nasional seperti Produk Domestik Bruto (PDB/GDP), Gross Fixed Capital Formation (GFCF, total investasi dalam ekonomi negara tuan rumah) dan saldo pembayaran.
Padahal kalau dilihat bahwa sesungguhnya investasi dari kaum modal itu sama halnya “menjual Kedaulatan ekonomi nasional dan rakyat”, karena model investasi yang paling digemari pemodal adalah bermain di pasar saham, obligasi, SUN, SBI dan lain-lain dengan jumlah yang tak terkira, dibandingkan melakukan investasi di sector riil. karena kebijakan moneter di Indoenesia adalah yang paling liberal sedunia. Tentu saja kondisi ini bisa mengakibatkan rentanya pondasi ekonomi nasional dari prilaku pemodal yang spekulatif.
Jika merujuk prosesnya, Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono, pernah mengadakan International Infrastructure Summit pada tanggal 17 Januari 2005 dan BUMN summit pada tanggal 25-26 Januari 2005. Infrastructure summit menghasilkan keputusan eksplisit bahwa seluruh proyek infrastruktur dibuka bagi investor asing untuk mendapatkan keuntungan, tanpa perkecualian. Pembatasan hanya akan tercipta dari kompetisi antar perusahaan. Pemerintah juga menyatakan dengan jelas bahwa tidak akan ada perbedaan perlakuan terhadap bisnis Indonesia ataupun bisnis asing yang beroperasi di Indonesia. BUMN summit menyatakan jelas bahwa seluruh BUMN akan dijual pada sektor privat. Dengan kata lain, artinya tak akan ada lagi barang dan jasa yang disediakan oleh pemerintah dengan biaya murah yang disubsidi dari pajak. Di masa depan seluruh barang dan jasa bagi publik akan menjadi barang dan jasa yang bersifat komersial yang penyediaannya murni karena motif untuk mendapatkan laba.
Dalam Roadmap tersebut secara terang-terangan terdapat agenda penghancuran gerakan buruh dan penghisapan kaum buruh secara lebih sistematis. Diantaranya, Revisi terhadap:
Point-pointnya adalah:
a) RPP Pesangon
• Imbalan PHK perlu ditinjau kembali agar adil dan setara dengan Negara lain
• Besaran imbalan PHK, Masa Kerja, tujuan, alokasi besaran dan sifat manfaat perlu ditinjau kembali
b) Revisi UU 13/2006
• Hal ini dilakukan agar Mekanisme Hukum yang mengatur Ketenagakerkaan (Perburuhan) lebih tunduk pada skema (Pasar Buruh/pasar tenaga kerja yang Luwes)
c) Meninjau Kembali Fungsi PHI (Pengadilan Hubungan Industrial)
• PHI dinilai Oleh Para Pemodal, Sangat panjang prosesnya dan berbelit belit sampai tingkat MA, tentu ini sangat merugikan mereka .
• Dalam Prakteknya lebih banyak menguntungkan Kaum buruh daripada pengusaha (Khususnya PHI Jakarta)
d) Jaminan sosial bagi pekerja perlu lebih mendapat perhatian dengan menerapkan Sistem Jaminan Sosial bagi pekerja sesuai dengan anaman UU SJSN.
Saat ini sejak ditandatanganinya kesepakatan perdagangan bebas (free trade agreement/FTA) Asean dan China pada 2002. Telah menunjukan Indikasi adanya deindustrialisasi. Sikap pemerintah yang terlalu tunduk kepada sistem perdagangan bebas dan globalisasi ekonomi telah membuat industri di dalam negeri tidak berdaya terhadap serbuan produk impor murah, terutama dari China .
Kebijakan pemerintah yang lebih memilih mengekspor bahan mentah ke berbagai negara khususnya China, membuat negara itu dengan leluasa memasukkan produk jadi dengan harga yang lebih murah ke Indonesia.
Kenyataan itu juga makin ironis sejak Indonesia terus meliberalkan pengusaan dan struktur industri mulai dari hulu sampai hilir, menjadi sebab tersendiri rapuhnya struktur industri di Indonesia yang masih sangat bergantung pada bahan baku import.
Akibatnya, daya saing produk Indonesia terus merosot di tengah pesatnya pertumbuhan industri di sejumlah negara tetangga. “Gejala deindustrialisasi telah terjadi dalam 5 tahun terakhir ini. Menurut data statistik, perkembangan industri manufaktur pada masa rehabilitasi ekonomi pada 1967-1997 mencapai 10,9%.
Namun, pada tahun-tahun berikutnya terjadi penurunan dan menempati urutan yang lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB). Lebih parah lagi pertumbuhan industri hingga 2 triwulan terakhir hanya sekitar 1,3%. Deindustrialisasi, mengakibatkan pengangguran secara besar-besaran yang diikuti juga dengan merosotnya daya beli dan kualitas hidup rakyat Indonesia, serta ancaman serius dalam perekonomian nasional.
Merujuk data yang pernah dikumpulkan ABM (Aliansi Buruh Menggugat), menyebutkan bahwa Jumlah buruh di Indonesia sejak krisis Keuangan Global 2008-2009 yang ter-PHK berjumlah 1 juta lebih, kebanyakan itu terjadi di sector manufaktur, sector tekstil dan produk tekstil. Banyaknya jumlah buruh yang ter-PHK, tentu saja semakin meningkatkan jumlah penganguran dan orang-orang miskin di Indonesia.
National Summit 2009 kemarin adalah menghasilkan Blue Print Deagrarianisasi dan Deindustrialisasi national, yang jelas merugikan Petani tak bertanah, Kaum Buruh, Miskin Perkotaan dan kaum miskin lainya dan tentu memperkuat arah kapitalisme di Indonesia dengan yang berbentuk KAPITALISME RAMPOK.
Bersiap-siaplah untuk perang kelas yang semakin membesar
Dari pemaparan diatas jelas terlihat bahwa agenda pemerintahan yang berkuasa beserta kaum borjuasi melakukan penghisapan yang lebih sistematis atas kaum buruh, petani dan sumber daya alam indonesia. Untuk itu PPI sebagai harus juga mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan ini. PPI beserta organ-organ yang berada di dalam koordinasinya harus segera mengkonsolidasikan diri dalam melakukan perlawanan terhadap kelas yang berkuasa saat ini.
Kadin adalah kumpulan pengusaha, kaum pemodal, sangat tidak mungkin kepentingan mereka akan membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat indonesia, Roadmap Perekonomian yang mereka buat adalah untuk membuat diri mereka menjadi semakin kaya dan menghisap kaum buruh secara lebih sistematis.
Hanya sistem ekonomi yang sosialistiklah yang dapat membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan sistem ini tidak mungkin dibangun oleh kaum borjuasi. Sistem yang dapat mensejahterakan seluruh rakyat harus dibangun oleh kaum buruh dan tani.
Rezim berganti rezim, namun dari dulu hingga saat ini, semua rezim tunduk di bawah kekuasaan kaum borjuasi, menindas kaum buruh dan tani. Mereka menerapkan perekonomian kapitalis di Indonesia. Mereka selalu menyodorkan data tentang pertumbuhan ekonomi dan kejuan-kemajuan di bidang yang lain, akan tetapi kondisi kaum buruh tidak menunjukkan hal demikian. Angka pengangguran yang masih tinggi, inflasi, dan banyak lagi persoalan yang lainnya. Hal ini menjelaskan keada kita bahwa kapitalisme telah gagal sebagai suatu sistem ekonomi yang mampu mensejahterakan rakyat Indonesia.
Dari situasi ini, tentu adalah tanggung jawab kita dan seluruh massa rakyat untuk membangun dan mengkonsolidasikan gerakan demi mewujudkan perekonomian yang sosialistik. Menolak rekomendasi-rekomendasi National Summit dan Roadmap Perekonomian yang dirancang oleh Kadin adalah langkah nyata bagi gerakan rakyat di Indonesia.
Nasional Summit
By kppsmi
bersambung……
Terima kasih sudah singgah di blog ID CREATIVE «« jangan lupa tinggalkan komentarnya "thanks.