Kapitalisme..???

SETURUT krisis ekonomi terparah di AS sejak depresi 1930an, kini kosakata kapitalisme kembali muncul ke permukaan. Kini, orang ramai tidak hanya membincangkan “apa yang salah dengan mekanisme pasar” tapi, juga melangkah lebih jauh dengan pertanyaan, “apa yang salah dengan kapitalisme?
Para pembela kapitalisme, bilang “krisis adalah hal yang biasa dalam kapitalisme. Krisis ini hanyalah koreksi dari perilaku rakus dari sebagian kapitalis. Sebentar lagi, akan muncul keseimbangan baru, dimana kapitalisme kembali survive.”
Seseorang mengatakan , dalam komentarnya terhadap catatan Ulil Abshar Abdalla, berjudul “Krisis ekonomi AS dan masa depan kapitalisme,” mengatakan, “Anyway, I still believe capitalism is a good system, only the people need to be reformed. It is so far, much better than communism and socialism.”
Keyakinan macam begini, mirip dengan orang-orang yang kerap berkata “agama itu benar, penganutnyalah yang tidak benar. So yang harus direformasi itu adalah para penganutnya. “
By the way, apa sih sebenarnya kapitalisme itu? Sejak runtuhnya Tembok Berlin, yang menandai runtuhnya Uni Sovyet, kosakata kapitalisme sebenarnya turut pula kehilangan pamornya. Bukan karena kapitalisme ikut bangkrut tapi, pemaknaannya yang sarat muatan ekonomi-politik-ideologi dibikin menjadi lebih teknis-ekonomis. Misalnya, kapitalisme (capitalism) diganti menjadi ekonomi pasar (market economy), imperialisme (imperialism) diganti menjadi pasar bebas (free-market), eksploitasi (exploitation) diganti menjadi pasar kerja fleksibel (labour market flexibility), akumulasi kapital (capital accumulation) diganti menjadi privatisasi (privatization), dst.
Di Indonesia, semenjak berkuasanya Orde Baru pada 1965, kapitalisme digunakan dalam makna yang peyoratif. Sedikit saja orang bercita-cita ingin kaya, langsung dibilang “ah kapitalis lu.” Ada juga yang sering bercanda tidak lucu, “selagi muda pikiran sosialis perut kapitalis.” Begitu Orba bangkrut, makna kapitalis yang peyoratif ini ditambahi dengan pemaknaan yang teknis-ekonomis itu tadi.
Akibatnya, ketika orang bicara kapitalisme, dalam konteks krisis ekonomi AS saat ini, yang dimaksud itu tak lain adalah pemkanaan yang teknis-ekonomis atau bahkan peyoratif tadi. Makna yang ekonomi-politik-ideologis tersembunyi rapat-rapat. Dan catatan kali ini ingin mencoba memunculkan makna yang tersembunyi itu.
***
Kosakata kapitalisme untuk pertama kalinya, muncul pada akhir abad ke-19 di Eropa. Di masa itu, sejak hancurnya sistem masyarakat feodal, sebagian aspek dalam kehidupan manusia berkembang sangat pesat. Misalnya, meluasnya pemakaian uang dan hubungan pertukaran; perkembangan pesat hubungan pasar yang secara perlahan menjadikannya sebagai elemen penting dalam pabrik sosial; pertumbuhan cepat sektor perbankan, kredit, keuangan, dan spekulasi sebagai motor penggerak sektor produksi dan distribusi; berkembangnya hubungan baru yang kian kompleks antara seluruh aspek-aspek ekonomi tersebut dengan negara; peningkatan secara rasional dan sistemik mobilisasi pengetahuan keilmuan dan potensi tekknik yang bertujuan menciptakan komoditi-komoditi baru; serta harapan kelompok kaya dan mereka yang ingin menjadi kaya untuk mengembangkan kebutuhan-kebutuhan baru.
Keseluruhan aspek-aspek ini, menurut Michel Beaut, merupakan bagian dari kata kapitalisme. Ini berarti, kapitalisme tidak bisa dimakna hanya sebatas moda produksi (mode of production). Demikian juga, pemakaian kata ekonomi pasar sebagai kata ganti kapitalisme merupakan sebuah penyederhaan. Menurut Samir Amin, pasar tak lebih dari sekadar bentuk manajemen sosial-ekonomi kapital.
Sejarawan Eric Hobsbawn, mengatakan, kosakata kapitalisme mulai memasuki perbincangan ekonomi dan politik pada tahun 1860an. Dan orang yang pertama kali menggunakan kata ini, yang membuat kita berhutang kepadanya, ujar sejarawan Jerry Z. Muller, adalah Karl Marx dan Friedrich Engels. Sebelumnya, demikian Muller, kosakata yang akrab dipakai untuk menggambarkan kemunculan sebuah sistem masyarakat yang baru itu adalah kosakata merchant-society (masyarakat-dagang) dari Adam Smith, atau civil-society (masyarakat-sipil) dari Georg Wilhelm Friedrich Hegel .
Jika begini ceritanya, ada baiknya kita menelisik apa yang dimaksud Marx dengan kata kapitalisme. Saya mau meminjam tafsiran dari Howard dan King untuk melihat definisi Marx tentang kapitalisme. Marx mengatakan, kapitalisme didasarkan pada empat ciri utama: pertama, kapitalisme dicirikan oleh produksi komoditi (production of commodities); kedua, adanya kerja-upahan (wage-labour); ketiga, kehendak untuk menumpuk kekayaan tanpa batas (acquisitiveness); dan keempat, kapitalisme dicirikan oleh organisasi yang rasional.
Mari kita periksa satu demi satu. Pertama, kapitalisme dicirikan oleh produksi komoditi. Ciri ini hanya salah satu aspek saja karena, seperti ditegaskan Marx, kapitalisme hanyalah salah satu bentuk khusus dari produksi komoditi; dalam pengertian, tidak semua sistem produksi komoditi adalah sistem kapitalis. Menurut Marx, produksi komoditi adalah umum terjadi dibanyak bentuk masyarakat. Dalam masyarakat non-kapitalis yang masih murni, seperti di Amerika Utara masa kolonial, kata Marx, para pengrajin dan petani yang menetap di wilayah itu memiliki sendiri alat-alat produksinya dan menjual kelebihan produksinya sebagai komoditi.
Produksi komoditi bagi Marx bermakna, sebuah sistem dimana aktivitas ekonomi dilaksanakan oleh agen-agen yang independen atau bebas tapi, dikoordinasikan oleh pasar pertukaran. Aktivitas ekonomi di sini, menyangkut hampir semua tipe-tipe ekonomi termasuk elemen-elemen produksi komoditi. Tentu saja, di masa pra-kapitalis aktivitas komersial telah berkembang tapi, mereka tidak dominan. Aktivitasnya berada di pinggiran, terutama lebih merupakan aktivitas perkotaan dalam sistem ekonomi pertanian skala besar, dan secara umum hanya terlibat dalam aktivitas perdagangan ketimbang aktivitas produksi.
Tetapi, Marx buru-buru mengatakan, dominasi pasar yang merupakan mekanisme koordinasi ekonomi, tidaklah mencukupi untuk menggambarkan karakter dari kapitalisme. Di sini, ia kemudian berbicara tentang aspek kedua dari kapitalisme yang dicirikan oleh tenaga kerja manusia yang telah berubah menjadi komoditi, bersamaan dengan kemunculan sistem kerja-upahan, dimana buruh bebas menjual tenaga kerja yang dimilikinya. Hubungan kapital-buruh ini merupakan hubungan kelas yang utama, kunci sukses dalam memahami keseluruhan moda produksi dan formasi sosial yang mendasarinya. Dan kenyataannya, hubungan buruh-kapital ini memang tidak menempati peran yang menentukan dalam teori neo-klasik.
Menurut Marx, dalam sistem ini uang dan komoditi bukan lagi kapital melainkan, sekadar alat-alat produksi, alat-alat subsistensi yang kemudian ditransformasikan menjadi kapital. Tetapi, proses transformasi itu sendiri hanya mungkin terjadi di bawah kondisi-kondisi tertentu yang berpusat pada,
“…the two very different kinds of commodity-possessors must come face to face and into contact; on the one hand, the owners of money, means of production, means of subsistence, who are eager to increase the sum of values they possess by buying other people’s labour-power; on the athoer hand, free labourers … in the double sense that neither they themselves form part and parcel of the means of production, as in the case of slaves, bondsmen etc, nor do the means of production belong to them, as in the case of peasent-proprietors; they are, therefore, free from, ununcumbered by, any means of production if their own…
….dua hal yang sangat berbeda, komodi-pemilik komoditi, saling berhadap-hadapan dan berhubungan; di satu pihak, pemilik uang, pemilik alat-alat produksi, alat-alat subsisten, yang sangat berhasrat untuk meningkatkan jumlah nilai yang mereka miliki, dengan cara membeli tenaga kerja orang lain; pada pihak lain, adalah pekerja bebas ….dalam pengertian ganda, dimana mereka bukan bagian dari alat-alat produksi sebagaimana dalam kasus perbudakan atau perhambaan dan sebagainya, … juga mereka tidak memiliki alat-alat produksi seperti dalam kasus petani-pemilik; mereka bebas dari alat-alat produksi yang dimilikinya….”
Dalam karyanya Wage, Labour, and Capital, Marx menekankan kembali keberadaan buruh bebas ini, dimana baginya, tenaga kerja tidak melulu berarti komoditi. Buruh tidak otomatis berarti buruh-upahan tapi, yang lebih penting adalah statusnya sebagai buruh-bebas. Seperti tampak pada kutipan di atas, buruh bebas ini menjual dirinya sendiri, lebih dari itu, menjual karakter dirinya. Ia menjual sejumlah delapan, sepuluh, dua belas, lima belas jam dalam sehari, setiap harinya, kepada pembeli tertinggi, pemilik alat-alat produksi, dan alat-alat subsisten yakni, si kapitalis. Pada saat yang sama, si buruh bebas meninggalkan si kapitalis kapan saja ia mau,demikian juga dengan si kapitalis, bebas menendang si buruh jika ia menganggap si buruh tidak lagi mendatangkan keuntungan baginya. Tetapi, si buruh, yang menjual sumber inti penghidupannya kepada si kapitalis, tidak bisa melepaskan dirinya dari keseluruhan kelas yang membelinya, kelas kapitalis tanpa mendeklarasikan keberadaan dirinya. Di sinilah letak utama keunikan sistem kapitalis, dimana hubungan buruh-kapital ini melampaui hubungan personal buruh-kapitalis tapi, lebih dari itu membentuk hubungan antara klas buruh dengan klas kapitalis yang lebih kompeks.
Sedangkan yang dimaksud dengan kehendak untuk menumpuk kekayaan tanpa batas (acquisitiveness), yang merupakan aspek ketiga dari kapitalisme, merupakan motivasi utama seorang kapitalis. Bagi seorang kapitalis, akumulasi kekayaan adalah tujuan utamanya ketimbang, bentuk-bentuk tertentu dari kekayaan seperti, tanah atau obyek-obyek konsumsi lainnya. Mengenai hal ini, Marx dengan sangat jelas mengatakan,
“The expansion of value …. Becomes his subjective aim, and it is only in so far as the appropriation of ever more and more wealth in the abstract becomes the sole motive of his operations, that he functions as a capitalist …. Use-value must therefore never be looked upon as the real aim of the capitalist.
Ekspansi nilai ….menjadi tujuan subyektif seorang kapitalis, dan motif utama ini hanya berlaku sejauh ia memperoleh lebih dan lebih banyak lagi kekayaan dalam fungsinya sebagai seorang kapitalis…. Nilai-guna, dengan demikian, tidak bisa dilihat sebagai tujuan utama seorang kapitalis.”
Aspek terakhir dari kapitalisme, adalah kebutuhan akan sebuah organisasi yang rasional. Organisasi ini yang memungkinkan motivasi kapitalis, misalnya, terwujud sepenuh-penuhnya. Di sini, Marx mengatakan, motivasi untuk terus “memperkaya diri” bukanlah ekspresi “alamiah” gerak ekonomi universal. Bagi Marx, motivasi kapitalis itu muncul dalam proses sejarah yang mendahului dominasi produksi kapitalis. Pada tahap ini, momen paling krusial dalam sejarah Eropa abad pertengahan, adalah berkembangnya asosiasi-asosiasi yang beriringan dengan pertumbuhan kota-kota di Eropa dimana, secara khusus, muncul gerakan yang menghendaki terbentuknya otonomi kotamadya dan diciptakannya ekonomi uang yang memungkinkan ekspansi dagang berkembang pesat. Dalam proses ini, kata Marx lebih lanjut, kota terbebas dari kungkungan etika komunal yang kaku dan pembatasan-pembatasan yang diberlakukan oleh sistem feodal. Sementara, meluasnya hubungan uang, mempromosikan akuisisi rasional dari “kekayaan secara umum” melalui ketersediaan alat-alat produksi.
Dari sini, Marx secara implisit selalu mengatakan, bahwa bagi seorang kapitalis, motivasinya tidak bisa disederhanakan sekadar keinginan untuk menumpuk kekayaan belaka melainkan, ia secara rasional akan terus-menerus mencari dan mengadopsi alat-alat produksi yang terbaik untuk merealisasikan tujuannya yakni, penumpukan kekayaan tanpa batas. Dan, organisasi rasional yang dibutuhkan kapitalis untuk memudahkan pemenuhan kebutuhannya itu adalah Negara.***
Kepustakaan:
Eric Hobsbawn, “The Age Of Capital 1848-1875,” Abacus, 1997.
Jerry Z. Muller, “The Mind And The Market Capitalism in Modern European Thought,” Albert A. Knopf, 2002.
Karl Marx, “Capital I,” Progress Publishers, Moscow, 1974.
M.C. Howard & J.E. King, “The Political Economy of Marx,” New York University Press, 1985.
Michel Beaud, “A History of Capitalism 1500-2000,” Monthly Review Press, 2001.
Robert C. Tucker (ed), “The Marx-Engels Reader” second edition, W.W. Norton & Company, 1978.
Samir Amin, “Market Economy’ or Oligopoly Finance Capitalism?” Monthly Review, Vol. 59, April, 2008.
Terima kasih sudah singgah di blog ID CREATIVE   «« jangan lupa tinggalkan komentarnya "thanks.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
Powered by Blogger