Menarik untuk mengikuti argumen Stephen Shapiro, bahwa Marx menggunakan istilah kapital dan bukan kapitalisme, karena pada masanya style “ism-ing” kurang popular di dipakai oleh gerakan sosial atau kultural saat itu. Tetapi, saya mau mengikuti argumennya Istvan Meszaros, bahwa sebenarnya ada makna yang sangat substansial dari digunakannya kata kapital ketimbang kapitalisme oleh Marx. Menurutnya, upaya Marx yang terpenting ketika ia menulis karyanya Capital, bukan terutama bagaimana kelas proletariat menghancurkan kapitalisme, tapi lebih pada bagaimana mengalahkan kapital.
Basis argumennya seperti ini. Kalau kita baca pemikiran Marx, jelas ia mengatakan bahwa kapitalisme hanya salah satu bentuk corak produksi masyarakat. Sementara, kapital, sebagai sebuah struktur dan hubungan produksi, telah ada mendahului corak produksi kapitalisme. Hal ini, misalnya, ia tegaskan dalam karyanya Grundrisse, “Capital is the all dominating economic power of bourgeois society (atau kapitalisme). It must form the starting point as well as the finishing point.” Dari pernyataan ini, tampak bahwa bagi Marx, kapital adalah bentuk hubungan dan struktur produksi yang paling canggih dalam sejarah. Sehingga, menurut Meszaros, konsep tentang kapital jauh lebih mendasar ketimbang konsep tentang kapitalisme. Jika kapitalisme lebih merujuk pada periode sejarah tertentu, maka kapital berurusan dengan hal yang lebih besar lagi.
Makna Kapital
Lalu, apa itu kapital? Kemunculan kosakata kapital yang sangat sering dalam berbagai karya Marx, berpotensi menimbulkan kebingungan. Pada satu ketika, ia memakai istilah kapital dengan merujuk pada benda (thing), tapi pada waktu yang lain kapital digunakannya dengan merujuk pada uang (money). Tetapi, di tempat lain ia dengan tegas mengatakan, “capital is not a thing, but rather a definite set of social relations” (kapital bukanlah sebuah benda tapi, sebentuk hubungan sosial yang konkret). Dalam hubungan dengan uang, dalam Grundrise, ia mengatakan “keberadaan uang melulu merupakan hasil dari proses sosial.”
Dari jawaban Marx ini, kita bisa mengatakan, kapital itu bukan benda juga bukan uang. Lalu, apapula yang dimaksudnya dengan “sebentuk hubungan sosial yang konkret?” Seperti biasa, kita mesti sabar dalam menelusuri struktur pemikiran Marx, dan mari kita mulai dengan contoh ringan berikut. Sebilah pisau bermata tajam, adalah sebuah benda. Secara alamiah, pisau berfungsi sebagai alat pemotong, tetapi fungsi ini bersifat potensial dan baru menjadi aktif ketika pisau tersebut ada dalam genggamannya si tukang jagal di pasar ikan. Pada yang pertama, pisau sekadar sebuah benda yang netral, bebas dari penilaian moral. Pada yang kedua, pisau tersebut telah merupakan bagian dari alat-alat produksi (means of production), bagian dari sebuah proses kerja.
Tetapi, alat-alat produksi tidak otomatis menyandang predikat sebagai kapital, seperti yang menjadi kepercayaan para ekonom orthodox. Dengan mendefinisikan kapital secara umum sebagai “alat-alat produksi”, konsekuensinya kapital dan buruh merupakan hubungan yang abadi sepanjang masa dan posisinya adalah saling melengkapi. Karena definisi tersebut membawa kita pada pengertian bahwa kedudukan buruh sama derajatnya dengan bahan-bahan baku lainnya dalam pabrik, dimana hubungannya melulu teknikal: hubungan input-output atau lebih dikenal dengan istilah fungsi produksi. Secara keseluruhan, mereka disebut sebagai faktor-faktor produksi.
Dengan definisi demikian, perjuangan antara buruh versus kapital melenyap; bicara perjuangan kelas tidak relevan, tidak memiliki basis teoritik yang solid karena, sesungguhnya, dalam kapitalisme yang terjadi adalah semua orang memiliki alat-alat produksinya: pengusaha memiliki alat produksi berupa modal (uang dan faktor-faktor produksi fisik), sementara buruh juga memiliki alat produksinya sendiri: tenaga kerja. Tanpa buruh tak ada capital, begitu sebaliknya. Maka, yang terjadi dalam kapitalisme, bukanlah eksploitasi pemilik kapital terhadap buruh, melainkan kerjasama di antara keduanya untuk memaksimalkan produksi dan menerima imbalan sesuai sumbangannya masing-masing. Bukan konflik yang mesti ditonjol-tonjolkan tapi, usaha untuk saling mengenal perbedaan dan persamaan masing-masing.
Argumen inilah yang ditolak Marx, melalaui penyataannya bahwa kapital bukanlah sebuah benda tapi, sebentuk hubungan sosial yang konkret. Kembali pada contoh sebilah pisau sebagai alat produksi, penanda utamanya adalah adanya campur tangan manusia di dalamnya. Lebih jauh, dalam pandangan Marx, campur tangan manusia ini berubah sesuai dengan perubahan corak produksi masyarakat.
Mari kita lanjutkan contoh di atas. Fungsi sebilah pisau sebagai alat pemotong ternak, tidak berbeda sejak jaman masyarakat komunal hingga masyarakat kapitalis sekarang. Menjadi berbeda, jika pada masyarakat komunal ternak yang disembelih itu untuk segera dikonsumsi maka pada masyarakat kapitalis, ternak disembelih untuk tujuan meraup keuntungan. Jika pada masyarakat komunal, alat-alat produksi berfungsi sebagai pencetak nilai-guna, maka pada masyarakat kapitalis, alat-alat produksi menjadi pencetak nilai-lebih.
Konsekuensi lebih lanjut, pada masyarakat komunal pisau bertransformasi menjadi alat produksi dalam sebuah proses kerja, sementara pada masyarakat kapitalis, pisau tersebut tidak hanya menjadi alat kerja, tapi lebih jauh telah menjadi kapital. Dengan demikian, bagi seorang kapitalis, signifikansi dari keberadaan sebilah pisau bukanlah karakteristiknya sebagai alat produksi (alat pemotong ternak) tapi, karena peranannya dalam mencetak profit (sejauh ia mendatangkan keuntungan, sejauh itu ia tetap bermanfaat); sementara bagi buruh, fungsi pisau tersebut bukan sebagai instrumen kerja yang mereka miliki tapi, sebagai alat yang dimiliki oleh kapitalis. Dan, jika kita melirik lebih dekat kondisi di pabrik, ujar Anwar Shaikh, sesungguhnya bukan hanya pisau melainkan juga uang dan bahkan kapasitas untuk bekerja, tak lebih sebagai inkarnasi dari pemilik kapital.
Inilah makna fundamental dari penyataan Marx, bahwa “kapital bukanlah sebuah benda tapi, sebentuk hubungan sosial yang konkret….” Konsekuensi lebih jauh, setiap bentuk perjuangan yang hanya berupaya merebut kontrol atas kapital dalam makna benda-benda material atau dalam makna hubungan kepemilikan pribadi yang sederhana, pasti akan berujung pada bencana sosial yang lebih besar lagi.
Kapital sebagai individu vs hubungan sosial dominan
Perlahan-lahan, kita mulai melihat perbedaan antara kapital dan kapitalisme. Shaikh mengatakan, kapital adalah sebuah hubungan sosial individual, sementara kapitalisme adalah sebuah bentuk masyarakat dimana kapital merupakan hubungan sosial yang dominan.
Kapital sebagai hubungan sosial individual, perhatian utamanya adalah bagaimana menghasilkan keuntungan. Dalam bentuk yang paling umum, adalah bagaimana dengan uang semula sebesar Rp. 1.000 (M),- menghasilkan uang yang lebih besar, Rp. 1.500 (M’). Marx menyebut formula ini sebagai sirkuit kapital. Di dalam sirkuit ini, terdapat tiga rute yang mungkin di antara M dan M’. Rute pertama, kapital uang (M) mungkin disalurkan dalam bentuk pinjaman (utang), yang kemudian ditarik kembali dalam bentuk kapital uang yang lebih besar dari kapital uang semula (M’). Kita sebut rute ini sebagai kapital finans yang formulanya berbentuk M-M’, dimana biasanya beroperasi dalam pasar derivatif, pasar bursa.
Rute kedua, mengambil jalan kapital uang (M) digunakan untuk membeli komoditi (C) dan komoditi yang sama ini kemudian dijual untuk mendatangkan kapital uang yang lebih besar (M’). Rute ini disebut kapital komersial dimana formulanya berbentuk M-C-C-M’. Pada rute ketiga, kapital uang (M) dikeluarkan untuk membayar komoditi (C) yakni alat-alat produksi dan tenaga kerja, dimana elemen terakhir ini digabungkan dengan alat-alat produksi menjadi proses produksi (P) yang hasilnya adalah sebuah produk (C’) yang dijual untuk menghasilkan kapital uang yang lebih besar (M’). Rute ini kita sebut sebagai kapital industrial, dimana formulanya adalah M-C….P….C’-M’.
Hukum Umum Kapital
Dominasi sosial kapital, menyebabkan munculnya pola-pola tertentu yang merupakan karakteristik dari corak produksi kapitalis. Pola-pola tersebut adalah, pertama, hubungan kelas antara kapital dan buruh secara mendasar bersifat antagonistik (tak terdamaikan), yang tampak secara instrinsik dalam perjuangan atas kondisi-kondisi dan bentuk-bentuk perampasan nilai lebih. Dari dulu hingga sekarang, antagonisme ini kadang-kadang bisa diredam melalui paksaan atau pembinasaan atas satu atau lain kelas, yang nantinya membentuk fondasi dari sistem tersebut. Tetapi, begitu bangunan dari sistem baru tegak, seketika antagonisme ini kembali muncul ke permukaan.
Kedua, kapitalisme sebagai sebuah bentuk organisasi sosial senantiasa ditandai oleh hubungan konfliktual dari setiap elemen di dalamnya: kapitalis vs buruh dalam proses kerja, buruh vs buruh dalam persaingan memperoleh pekerjaan, kapitalis vs kapitalis dalam pertarungan untuk memenangkan dominasi pasar dan penjualan, dan bangsa vs bangsa dalam perebutan pasar dunia. Seperti juga perjuangan kelas, konflik-konflik ini juga secara periodik bisa dihilangkan dan kemudian pelan-pelan bangkit kembali, menjadi akut lantas pecah menjadi konflik terbuka.
Ketiga, hubungan di antara manusia diperantarai oleh hubungan di antara benda-benda. Inilah salah satu watak dasar produksi kapitalis, dimana buruh individual diposisikan melulu sebagai pencetak profit bagi produk yang dihasilkannya. Normalnya, produserlah yang tampil ke depan mewakili produknya tapi, dalam kapitalisme, produklah yang muncul di depan dan para produser ikut dari belakang. Tema ini, oleh Marx secara khusus dibahas di bawah topik “pemujaan komoditi/fetishisme commodity.”
Point keempat, yang merupakan dampak langsung dari point ketiga, di bawah hubungan produksi kapitalis proses kerja individual dijalankan dengan harapan akan mendatangkan keuntungan tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu pembagian kerja sosial. Tetapi, setiap unit seperti buruh, hanya bisa bertahan hidup jika mereka secara kolektif mereproduksi baik basis material maupun basis sosial dari keberadaan masyarakat kapitalis. Jadi, seperti halnya seluruh bentuk masyarakat yang lain, masyarakat kapitalis membutuhkan kerja yang berulang-ulang (pattern of labour) guna mereproduksi struktur umum dari bangunan masyarakat tersebut. Dengan demikian, menurut Anwar Shaikh, di bawah produksi kapitalis, beragam kerja individual itu pada akhirnya dipaksa beraktivitas dalam pusaran pembagian kerja sosial, melalui proses uji-coba (trial-through-error) seperti, maksimalisasi atau minimalisasi waktu kerja, inkonsistensi, pembatalan, atau bahkan seringkali terjadi penghancuran dalam proses reproduksinya. Inilah yang disebut sebagai anarchy regulated, yang merupakan karakteristik utama dari reproduksi kapitalis.
Kelima, secara faktual produksi kapitalis digerakan oleh motif mencari keuntungan. Setiap kapitalis dipaksa untuk terus-menerus mengusahakan dan memperlebar jarak antara M dan M’; di antara mereka ada yang sukses dan menjadi kaya-raya, yang lain gagal dan jatuh bangkrut. Dalam proses kerja, kondisi ini muncul pada kecenderungan untuk memperpanjang dan mengintensifkan waktu kerja hingga melampuai batas sosial yang dimungkinkan, sambil pada saat yang sama terus mencari model untuk membentuk kembali proses kerja dalam garis yang dianggap “rasional” menurut pandangan kapital.
Hal ini mengakibatkan para kapitalis itu terus-menerus berusaha merevolusionerkan aturan-aturan yang ada guna menghasilkan produktivitas kerja yang semakin tinggi. Dalam realisasinya, proses revolusioner itu muncul dalam bentuk rutinisasi kerja dan kerjasama yang otomatis, menempatkan manusia sekadar sebagai faktor produksi sederajat dengan faktor produksi lainnya, dan terus-menerus memperbarui dan menciptakan mesin-mesin baru untuk mengganti tenaga kerja manusia dan mesin-mesin yang telah kadaluwarsa. Keadaan inilah yang dikatakan Marx,
“Industrial Revolution is merely the signal, not the cause, of the advent of capitalist relation of production. And whereas earlier the tool was an instrument of labour, now it is the worker who is an instrument of the machine.”
Revolusi industri tak lebih sebagai tanda, ia bukan penyebab munculnya hubungan produksi kapitalis. Dan, jika semula alat-alat merupakan instrumen kerja, kini buruhlah yang merupakan instrumen dari mesin.”
Kapital dan Kelas
Lalu, bagaimana kaitan antara kapital dan kelas? Dari uraian di atas tampak pada kita betapa perjuangan kelas itu bukan hal yang mudah. Ia bukan sekadar mengganti sistem sosialis kapitalis dengan sistem sosial non-kapitalis, seperti sosialisme misalnya. Sebagai contoh, salah satu ciri kapitalisme adalah dalam proses perampasan nilai-lebih, mekanisme paling vital adalah melalui pemisahan yang radikal antara alat-alat produksi dari produser, dimana hal itu secara inheren diasumsikan sebagai bagian dari bentuk ekonomi. Nah, ketika ada bentuk perampasan nilai-lebih yang dilakukan melalui instrumen politik, bisa kita katakan kapitalisme telah tereliminasi, tapi tidak dengan kapital. Sebagai contoh, apa yang dilakukan rejim Stalinisme di Uni Sovyet, adalah sebuah bentuk perampasan nilai-lebih kelas pekerja yang dilakukan melalui instrument negara, karena mekanisme pasar tidak mendapatkan tempat yang dominan sebagai wadah pertukaran.
Kondisi inilah yang dengan tepat dibaca Marx, melalui tesis Kediktatoran Proletariat. Meminjam paraphrase Marx di atas, kediktatoran proletariat dengan demikian hanyalah “tanda,” bukan “penyebab” munculnya hubungan masyarakat tanpa kelas. Artinya, dalam masyarakat post-revolusioner, akan ada satu periode yang panjang dan menyakitkan untuk mengalahkan kapital. Dalam periode ini, bisa saja kelas pekerja kembali dikalahkan, bahkan oleh rejim yang mengatasnamakan dirinya sebagai negara kelas-pekerja.
Tetapi, ini baru satu sisi penjelasan dari hubungan kapital dan kelas. Sisi lainnya, kita mesti masuk pada bagaimana bentuk dan struktur produksi kapitalis bekerja. Ketika membahas tentang komoditi, yang merupakan bentuk paling fundamental dari kapital, Marx mengatakan bahwa komoditi diproduksi oleh buruh yang menjual tenaga kerjanya kepada si kapitalis yang mengontrol proses produksi sekaligus pemilik komoditi. Tetapi, lebih dari itu, dalam masyarakat kapitalis, tenaga kerja telah menjadi komoditi itu sendiri. Maka, kita lihat, kapital, di atas segalanya, merupakan hasil dari hubungan sosial antara buruh dan kapitalis.
Jika begini definisinya, maka kita mesti memeriksa dinamika hubungan kelas itu sendiri. Sebelum lanjut, saya mengajak anda untuk mengikuti argumen berikut dari Ben Fine dan Alfredo Saad-Filho. Menurut keduanya, dalam menganalisis corak produksi, khususnya kapitalisme, Marx selalu bertitik-tolak dari produksi. Bagi Marx alasannya sederhana, “jika setiap orang berhenti bekerja, maka tidak akan ada masyarakat yang bisa bertahan hidup lebih lama.” Dalam proses produksi ini, kerja sosial mempengaruhi tindakannya terhadap alam melalui interaksinya dengan orang lain, dimana proses kerja ini tidak hanya bermaksud memenuhi kebutuhannya dan menciptakan sebuah kekayaan baru tapi, juga untuk mempertahankan kelangsungan hubungan sosial dalam lingkup produksi tersebut dan juga terhadap hubungan sosial lain yang berhubungan langsung dengannya.
Dalam sistem masyarakat berkelas, kita temui satu kelas yang tersubordinasi dalam masyarakat yang berproduksi melebihi apa yang dibutuhkannya, sehingga terjadi kelebihan kerja yang kemudian berhubungan langsung dengan kelebihan produksi. Kelebihan produksi inilah yang nantinya digunakan oleh kelas berkuasa untuk mengekalkan kekuasaannya. Masyarakat kapitalis, sebagai masyarakat berkelas tidak luput dari hukum ini. Dalam buku Economic and Philospohic Manuscripts of 1844, Marx mendefinisikan kapital sebagai, “…the governing power over labour and its products.” Definisi ini menunjukkan, bahwa dalam masyarakat borjuis, kelas kapitalis dalam rangka memproduksi komoditi, memaksa bagian terbesar populasi untuk menjual tenaga kerjanya kepada mereka, dimana tenaga kerjanya tersebut menjadi komoditi. Dengan menjual tenaga kerjanya, mereka bisa mempertahankan hidupnya dan memperoleh kesempatan untuk mereguk sejumput kekayaan.
Agar situasi ini bisa berjalan lancar, maka kelas kapitalis mesti menciptakan kondisi-kondisi yang mungkin bagi terjadinya pemaksaan itu. Dalam makna, mereka harus menciptakan situasi agar tercipta sebuah kelas pekerja, yakni mereka yang hanya bisa hidup dengan cara menjual tenaga kerjanya kepada si kapitalis. Maka produksi komoditi dalam masyarakat borjuis, tak lain adalah sebuah kontrol sosial kelas kapitalis terhadap kelas pekerja. Dengan demikian, produksi komoditi yang merupakan bentuk paling fundamental dari kapital, sejatinya adalah sebuah hubungan kekuasaan.
Bersandar pada pemahaman ini, menurut Cleaver, kapital adalah “bentuk sosial yang didasarkan atas pemaksaan kerja melalui komoditi.” Atau dalam definisi Marx yang telah kita kutip di atas, kapital adalah, “the ‘all-dominating economic power’ in bourgeois society.”
Tetapi, argument ini perlu penjelasan tambahan. Cleaver mengatakan, ada kesan paradoksal dari argumen di atas. Jika tenaga kerja telah menjadi komoditi, sebagai bentuk fundamental dari kapital, bagaimana mungkin terjadi perjuangan antara si buruh melawan yang lain? Sebab, bukankah sejauh buruh bekerja untuk kapital, itu artinya ia tidak bekerja pada sesuatu yang lain, karena ia sendiri bagian dari kapital tersebut. Apakah ini berarti capital bermakna ganda: sebagai keseluruhan (whole) sekaligus bagian (part)?”
Cleaver menjawab dengan pasti, tidak! Baginya, kapital tetap bermakna keseluruhan dan ini memang point yang sulit, karena kelas pekerja menemukan dirinya sendiri bertentangan dengan keseluruhan (kapital), termasuk dirinya dalam pengertian yang khusus. Artinya, dalam kapitalisme sebagai sebuah sistem sosial, ada dua subyektivitas yang saling bertentangan: pertama adalah subyek (capital) yang mengontrol subyek yang lain (kelas-pekerja) melalui pemaksaan kerja dan kelebihan kerja. Logika kontrol ini, menurut Cleaver, berlangsung secara dialektik. Sementara itu perjuangan utama kelas pekerja sebagai subyek yang independen adalah menghancurkan control kapitalis tersebut, melalui apa yang disebut “menolak kerja/refusal of work.” Logika ini disebut Cleaver sebagai logika pemisahan antagonistic yang realisasinya berupa penundukkan dan penghancuran logika dialektik kapital. ***
Kepustakaan:
Antonio Negri, “Marx Beyond Marx Lessons on the Grundrisse,” Bergin and Garvey Publishers, Inc. Amherst, Massachussetts, 1984.
Anwar Shaikh, “Capital as a Social Relatin,” in John Eatwell et.al., “Marxian Economics,” W.W. Norton & Company Ltd, 1990.
Ben Fine and Alfredo Saad-Filho, “Marx’s Capital,” Pluto Press, London, 2004.
Harry Cleaver, “Reading Capital Politically,” AK Press, 2000.
Istvan Meszaros, “Beyond Capital,” Merlin Press, 1995.
Karl Marx, “Capital Vol. I,” Progress Publishers, Moscow, 1974.
————, “Econommic and Philosophic Manuscripts of 1844,” Promotheus Books, NY, 1988.
————, “Grundrisse,” Penguin Books, 1973.
Stephen Saphiro, “Marx’s Capital,” Pluto Press, 2008
Terima kasih sudah singgah di blog ID CREATIVE «« jangan lupa tinggalkan komentarnya "thanks.