RUU BHP, Skenario Neoliberalisme

RUU BHP, Skenario Neoliberalisme [JAKARTA] Peraturan Presiden (Perpres) No 77/2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal dan Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) merupakan bagian dari skenario asing menuju neoliberalisme pendidikan di Indonesia. Karena itu, keduanya harus dikaji ulang.
Demikian rangkuman pendapat mantan Rektor Universitas Gadjah Mada Sofian Effendi, pakar pendidikan Winarno Surakhmad, dan Pengurus Majelis Luhur Taman Siswa Darmaningtyas yang dihubungi SP, secara terpisah di Jakarta, Senin (3/9). Ketiganya mengingatkan pemerintah dan DPR agar tidak gegabah mengesahkan RUU BHP menjadi UU, serta meninjau ulang Perpers 77/2007, karena dampaknya akan sangat fatal bagi pendidikan nasional.
”Dalam perpres tersebut terkait kepemilikan saham asing di sektor pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi dan pendidikan nonformal dan menjadikan pendidikan sebagai komoditas sama sekali tidak sesuai dengan ideologi negara kita,” ujar Sofian Effendi.
Dikatakan, revisi amat diperlukan guna menyelamatkan makna pendidikan
yang tercantum dalam UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, dari upaya-upaya liberalisasi pendidikan kepada warga negara oleh negara asing. Sofian melanjutkan, pemberlakuan Perpres 77/2007 akan berimplikasi pada menjamurnya institusi-institusi pendidikan berbendera asing yang memperebutkan penduduk usia sekolah di Indonesia.
”Muatannya jelas, mereka melihat angka sekitar 103 juta penduduk kita yang membutuhkan pendidikan itu sebagai pasar. Akibatnya, akan terjadi komersialisasi pendidikan dan sekolah yang hanya berjualan gelar,” katanya.
Bahaya lain dari masuknya modal asing pendidikan, lanjut Sofian, pemerintah akan terbebani untuk mengalokasikan anggaran kepada semua institusi pendidikan yang ada. Diterangkan, sesuai WTO, pemerintah tidak boleh membeda-bedakan perlakuan terhadap sekolah dalam memberikan bantuan, termasuk status kepemilikan modal sekolah tersebut.
Artinya, semua sekolah dan perguruan tinggi, baik itu negeri atau pun swasta dan milik modal asing atau pun domestik, harus diperlakukan sama oleh pemerintah dalam hal alokasi anggaran. ”Nah, kalau ini sampai terjadi, saya khawatir anggaran pemerintah yang sudah minim ini akan semakin terbagi ke banyak institusi. Pendidikan kita akan hancur lama-kelamaan,” katanya.
Soal skenario asing dalam koridor neoliberalisme pendidikan di Indonesia, Sofian mengatakan, UU 20/2003 tentang Sisdiknas mensyaratkan pendidikan perlu diselenggarakan dalam sebuah badan hukum yang diatur dalam UU sendiri. Aturan ini, kata Sofian, memancing pemerintah untuk membuat RUU BHP.
Kemudian, tiba-tiba pemerintah mengeluarkan Perpres 77/2007 yang memungkinkan pendidikan dimasuki oleh modal asing. Dengan demikian, menurut Sofian, sangat terlihat benang merah kepentingan negara-negara adikuasa yang menganggap angka usia belajar penduduk Indonesia sebagai pasar yang menggiurkan.
Sofian menambahkan, meminta pemerintah merevisi Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang dikeluarkan BPS pada tahun 2000.
Menurutnya, KBLI inilah yang menjadi penyebab utama pendidikan dimasukkan dalam kategori komoditas usaha yang bisa menerima modal asing.
Sofian menilai, sebelum menyusun KBLI pemerintah kemungkinan belum membaca seluruh naskah International Standard Industrial Classification of All Economic Activities (ISIC) Revisi 3 Tahun 1990 yang menjadi rujukan pembuatan KBLI. ”Kalau merujuknya benar, pastinya pemerintah tidak akan memasukkan bidang pendidikan yang merupakan sektor public services menjadi sektor komoditas umum,” jelasnya.
Winarno Surakhmad mengatakan, terlalu dini bagi pemerintah untuk Menerapkan BHP selama pendidikan nasional belum dibenahi. ”benahi dulu pendidikan nasional, baru kemudian melangkah maju,” katanya.
Ditegaskan, pendidikan nasional tidak bisa dijadikan komoditas karena bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. ”Perpres dan BHP itulah yang akan membawa dunia pendidikan nasional menjadi komoditas,” katanya.
Sementara itu, Darmaningtyas mengatakan, semua stakeholders yang terkait dengan kepentingan pendidikan harus mencegah agar pendidikan nasional Indonesia tidak menjadi sumber pendapatan asing. Untuk itu, lanjutnya, pemerintah khususnya harus mengkaji ulang Perpres No 77/2007 dengan mencabut atau mengeluarkan bidang pendidikan sebagai bagian usaha bidang penanaman modal. [W-12]
Terima kasih sudah singgah di blog ID CREATIVE   «« jangan lupa tinggalkan komentarnya "thanks.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
Powered by Blogger