Sekilas Kelahiran Sosialisme

Pendahuluan dan Batasan—
Sosialisme atau pun sistem ekonomi sosialis yang diperbincangkan dalam lembar diskusi ini adalah sosialisme yang berkembang pada masa Robert Owen (1771-1858) dan Karl Marx (1818-1883). Pembatasan ini perlu, karena bisa jadi wacana atau nilai sosialisme telah ada sebelum era 2 tokoh tersebut di atas. Karenanya, untuk efektivitas diskusi, maka lembar pengantar ini hanya membicarakan sosialisme yang berkembang pada masa Owen dan Marx.

Memperbincangkan sosialisme maupun sistem ekonomi sosialis, tentu kurang lengkap jika tanpa mengupas apek penyebab lahirnya isme yang dalam buku Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, karya Michael H. Hart, dinyatakan telah dianut oleh hampir 1,3 milyar manusia pada abad ke-20.

Dan, memperbincangkan sosialisme tentunya tidak bisa tanpa menyentuh kapitalisme, karena pada hakekatnya sosialisme merupakan reaksi terhadap kapitalisme. Sementara itu, jika kita mengobrolkan kapitalisme, maka mau tidak mau kita juga mesti mengulas tentang feodalisme sebagai “ibu” yang telah melahirkannya.

—Feodalisme—
Sejarah feodalisme tidak bisa dipisahkan dengan Dark Ages (Jaman Kegelapan) yang pada abad ke-5 tengah melanda Eropa. Sejak runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada tahun 476 M, sejak itu pula hampir seluruh Eropa mengalami kemunduran dan kemerosotan di banyak bidang, terutama bidang ekonomi.

Kemunduran tersebut juga memaksa Eropa—yang sebelumnya menjadi salah satu pusat perdagangan terbesar di dunia pada masa itu—beralih menjadi masyarakat agraris. Perubahan menjadi masyarakat agraris tersebut dipilih sebagai jalan tengah untuk tetap survive (bertahan hidup) di tengah keterpurukan.

Lambat laun, pilihan itu tidak hanya berpengaruh terhadap aspek ekonomi saja, namun secara sosiologis pilihan tersebut juga mempertegas pelapisan sosial yang telah ada. Pelapisan sosial yang ditandai dengan adanya kelas-kelas di dalam masyarakat Eropa pada masa itu, sejatinya dipicu oleh sistem pengaturan tanah yang dinamai feodalisme.

Secara etimologis, feodalisme berasal dari kata feodus yang dalam Bahasa Latin berarti “Perjanjian”. Secara sepintas, feodalisme dapat dimaknai sebagai sebuah paham yang lahir dari tata-aturan yang dibuat oleh negara atau raja yang bertujuan mengatur peminjaman tanah kaum bangsawan.

Bangsawan yang memperoleh pinjaman tanah tersebut kemudian menyewakan tanah pinjaman itu kepada para petani dengan sistem bagi hasil atau sewa tenaga. Keadaan ini menyebabkan pengaruh bangsawan pada masa itu menjadi sedemikian besarnya. Bangsawan-bangsawan berupaya tetap memelihara “hubungan baik” mereka dengan negara atau raja lewat berbagai cara, meski harus mengorbankan para buruh dan petani penggarap tanah mereka. Feodalisme juga memicu lahirnya tuan-tuan tanah yang menggarap tanah mereka hanya untuk peningkatan hasil/produksi semata. Dan, tentu saja hal tersebut dilakukan para tuan tanah untuk menjaga “hubungan baik” mereka dengan bangsawan yang tanahnya mereka sewa, tanpa mempedulikan kesejahteraan buruh dan petani penggarap tanah mereka.

Peningkatan produksi yang tidak mempedulikan nasib buruh dan petani penggarap tanah ini, akhirnya bermuara pada makin melimpahnya kekayaan raja-raja atau penguasa. Dalam menjalankan kekuasaannya, penguasa-penguasa pada masa itu berupaya memperoleh dukungan legal dari kaum agamawan (gereja) cara memberikan subsidi kepada gereja.

Tentunya mudah diterka, jika pemberian subsidi tersebut diniatkan untuk menarik dukungan gereja. Hal ini penting bagi para raja, karena pada masa itu masyarakat meyakini bahwa segala sesuatu yang berasal dari gereja dianggap sebagai kebenaran yang tidak boleh dibantah. Dukungan gereja menjadi penting bagi para penguasa karena dukungan gereja akan melegitimasi sistem feodalisme yang mereka terapkan.

Feodalisme akhirnya melahirkan simbiosis mutualisme antara para raja, gereja, bangsawan dan tuan tanah. Karena itu, menjadi masuk akal jika masing-masing dari unsur simbiosis saling menguntungkan itu berupaya untuk tetap melestarikan sistem yang telah meminggirkan kaum buruh dan petani itu.

Feodalisme sebagai upaya untuk mengatasi keterpurukan Eropa, memang berhasil mengeluarkan Eropa dari Dark Ages sekalipun mengorbankan petani dan buruh. Terbukti pada masa Perang Salib (1096-1291) perdagangan Eropa muncul kembali. Hal ini ditandai dengan tampilnya kawasan Italia sebagai salah satu pusat penting perdagangan dunia pada masa itu.

Bangkitnya pusat perdagangan di Laut Tengah tersebut juga dibarengi dengan meningkatnya jumlah kaum pengusaha kaya di kota-kota dagang yang biasanya disebut sebagai kaum Borjuis. Bejibunnya borjuis pada masa itu, tidak hanya berpengaruh pada iklim perekonomian Eropa, tetapi juga berpengaruh pada sosio-kulturnya. Kultur feodalisme yang mulanya membangun kultur Eropa itu pun mengalami perubahan seiring dengan munculnya gerakan renaissance yang disponsori oleh kaum borjuis.

Renaissance secara etimologis berasal dari kata re yang berarti kembali, dan naitrie yang artinya bangun. Terjemahan bebasnya adalah bangun kembali. Maknanya, kurang lebih bangun kembali untuk melepaskan diri dari ikatan feodalisme yang hanya menguntungkan raja, bangsawan, tuan tanah, dan gereja. Renaissance juga dimaknai sebagai penggalian kembali filsafat dan ilmu pengetahuan yang berkembang pada jaman Yunani.

Renaissance sebenarnya merupakan reaksi dari feodalisme yang telah menindas buruh dan petani. Jika pada masa feodalisme, filsafat dan ilmu pengetahuan harus tunduk kepada fatwa gereja, maka pada masa renaissance filsafat dan ilmu pengetahuan diletakkan kembali pada tempat semestinya.

Renaissance juga lahir sebagai buah ketidakpuasan pemimpin masyarakat, serta para pemikir pada masa itu yang mendukung feodalisme. Ketidakpuasan ini akhirnya mengejahwantah jadi gerakan masyarakat yang disponsori oleh kaum borjuis.

Selain merombak tradisi lama Eropa yang bercorak feodalis dan gerejawi, renaissance juga merangsang pemikir-pemikir yang awalnya berada di bawah tekanan dogmatis gereja untuk tampil mengemukakan pikiran-pikirannya. Salah satunya adalah Nikolaus Copernicus yang menyatakan bahwa bumi sebenarnya bulat seperti bola. Astronom kelahiran Polandia, 19 Februari 1473 itu juga menyatakan bahwa matahari merupakan pusat peredaran planet-planet (teori heliosentris).

Teori Copernicus ini berlawanan dengan konsepsi kuno yang disahkan gereja, yang menyatakan bahwa bumi menjadi pusat tatasurya (geosentris). Meski secara ilmiah berhasil dibuktikan oleh cendikiawan lainnya yang bernama Galileo Galilei, teori bumi bulat dan heliosentris tetap mendapatkan tentangan dari pihak gereja.

Sejarah akhirnya mencatat, teori Copernicus tersebut tidak hanya benar, tetapi juga menjadi salah satu faktor munculnya kolonialisme dan imperialisme sebagai turunan dari feodalisme.

—-Kolonialisme dan Imperialisme—

Bangkitnya Eropa yang ditandai dengan bangkitnya kawasan Laut Tengah—khususnya Italia—sebagai salah satu pusat penting perdagangan dunia, ternyata tidak berlangsung lama. Pada tahun 1453, Kota Konstantinopel (Romawi Timur) jatuh ke dalam genggaman Turki yang diperintah Dinasti Usmani. Jatuhnya Konstantinopel ini mempengaruhi denyut nadi perdagangan Eropa karena seketika itu pula kawasan Laut Tengah berada di dalam kendali Turki. Keadaan ini memaksa Eropa untuk mencari daerah di luar kawasan Laut Tengah sebagai penopang perekonomian mereka.

Pencarian daerah baru menjadi “wabah” yang secara cepat menjangkiti bangsa-bangsa Eropa saat itu. Selain mendapatkan dukungan dari raja, pencarian daerah baru ini juga mendapatkan sokongan dari saudagar atau pemilik modal besar.

Selain motif ekonomi, pencarian daerah baru juga dipicu motif lainnya, seperti dahaga untuk mendapatkan nama yang termasyur, iming-iming penghargaan tinggi dari raja, serta motif untuk menjadi bangsa yang disegani dan dielu-elukan. Motif lainnya adalah motif penyebaran Kristen sebagai agama mayoritas penduduk Eropa pada masa itu. Motivasi-motivasi tersebut akhirnya populer disebut 3 G, akronim dari Gold (Emas, yang makna luasnya adalah kekayaan), Glory (kejayaan), dan Gospel (tugas suci, agama).

Pencarian daerah baru juga didorong oleh perasaan bangsa-bangsa Eropa yang menganggap dirinya lebih unggul daripada bangsa-bangsa lainnya. Faktor pendorong lainnya adalah teori Copernicus yang menyatakan bahwa berbentuk bulat seperti bola.

Faktor lainnya adalah keberhasilan ekspedisi pelayaran kerajaan Spanyol pada tahun 1492 yang dipimpin Christoporus Columbus (pelaut asal Italia). Keberhasilan Columbus tersebut makin menggelorakan semangat pencarian daerah baru. Setelah mempelajari catatan-catatan Columbus, pada tahun 1519 Kerajaan Spanyol kembali mengirimkan rombongan ekspedisi pelayarannya yang dipimpin Ferdinand Magelhaens.

Meski Magelhaens meninggal karena pertempuran dengan penduduk Filipina, ekspedisi yang selanjutnya dipimpin Juan Sebastian del Cano (asal Italia) ini dinilai berhasil oleh Kerajaan Spanyol. Ekspedisi yang berlangsung selama 3 tahun itu tidak hanya berhasil mencari daerah baru penghasil komiditi penting perdagangan, tetapi juga berhasil menjadikan Filipina sebagai daerah koloni Spanyol.

Tidak hanya menjadi bukti kebenaran teori Copernicus, ekspedisi Magelhaens—yang dicatat sejarah sebagai pelayaran pertama yang benar-benar mengitari bumi—juga menjadi salah satu faktor yang mendorong bangsa Eropa lainnya untuk melakukan ekspedisi serupa.

Sementara itu, klaim sepihak Spanyol atas Filipina telah menginspirasi bangsa Eropa lainnya untuk melakukan hal yang sama. Klaim sepihak negara-negara Eropa terhadap daerah baru yang mereka temukan, serta upaya mereka menjadikan daerah baru tersebut sebagai koloni inilah yang akhirnya lazim disebut sebagai praktek kolonialisme.

Pencarian daerah baru yang awalnya dilakukan sebagai jalan keluar atas penguasaan Laut Tengah oleh Turki, serta sebagai upaya alternatif untuk mencari komiditi dagang itu telah berubah tujuannnya. Jika awalnya hanya bermotif dagang semata, maka selanjutnya pencarian daerah baru tersebut bermotif perluasan kawasan dan penguasaan/penjajahan daerah-daerah penghasil komiditi dagang (terutama emas dan rempah-rempah)

Kalau sebelumnya feodalisme dijadikan sebagai jalan keluar untuk mengentas Eropa, pada masa ini kolonialisme-lah yang dijadikan sebagai jalan bagi Eropa untuk memperkuat perekonomiannya. Sama dengan feodalisme, kolonialisme juga merupakan kolaborasi antara penguasa, bangsawan, pemilik modal besar (kapitalis), dan gereja. Dari waktu ke waktu, terbukti bahwa kolonialisme berhasil memperderas aliran emas dan rempah-rempah ke pasaran Eropa, yang pada gilirannya membuahkan keuntungan yang fantastis bagi penguasa, bangsawan, dan kapitalis.

Semangat untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar tersebut tidak hanya merangsang bangsa-bangsa Eropa untuk menguras habis daerah koloninya, tetapi lambat laun takaran keuntungan atau kekayaan hasil kolonialisme itu dijadikan sebagai alat ukur tinggi rendahnya derajat suatu bangsa di Eropa. Akibatnya bisa ditebak, masing-masing bangsa Eropa berkompetisi menumpuk kekayaan yang diperoleh dari kolonialisme yang mereka terapkan. Kompetisi inilah yang disebut sebagai Merkantilisme.

Karena jumlah logam mulia yang dijadikan sebagai tolok ukur dalam merkantilisme, maka emas sebagai logam mulia memegang peranan penting pada masa itu. Konsekuensi logisnya, perluasan koloni—terutama yang bermotif perburuan emas—pun makin menjadi-jadi.

Setelah itu, emas dan rempah-rempah tidak hanya mendorong perluasan koloni. Tetapi juga menjadi alasan utama bangsa-bangsa Eropa untuk menguasai secara bulat dan utuh daerah koloni mereka dengan cara mengambil paksa kekuasaan-legal yang ada di dalam koloni tersebut. Upaya penguasaan secara utuh serta pengambilan paksa kekuasaan-legal sebuah koloni inilah yang dinamakan praktek imperialisme. Setelah pengambilan paksa kekuasaan-legal, episode selanjutnya yang dimainkan penjajah adalah memobilisasi-paksa penduduk asli agar melakukan segala sesuatu demi kepentingan negara induk (negara penjajah).

—Revolusi Prancis, Revolusi Industri dan Kapitalisme—

Laju aliran emas dan rempah-rempah yang dihasilkan oleh kolonialisme/imperialisme ternyata juga dibarengi dengan majunya khasanah ilmu pengetahuan. Sebagaiman diulas sebelumnya, pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan tersebut tidak lepas dari pengaruh renaissance.

Di sisi lain, renaissance tidak hanya membawa “aufklarung” (pencerahan, bhs. Jerman) bagi masyarakat Eropa, tetapi juga mengilhami banyak orang—terutama pemikir—untuk melakukan revolusi (perubahan) tatanan masyarakat, terutama pemerintahan.

Revolusi yang melanda hampir seantero Eropa tersebut sebenarnya merupakan reaksi atas absolutisme raja-raja Eropa pada masa itu. Absolutisme raja-raja Eropa tersebut sedikit-banyak dipengaruhi oleh Machiavellisme, yakni sebuah isme tentang mutlaknya kekuasaan raja yang dicetuskan oleh Niccolo Machiavelli. Dalam bukunya yang berjudul Il Principe (artinya: Sang Raja), Machiavelli menyatakan, kekuasaan raja bersifat mutlak dan tak terbatas atas suatu negara, sehingga raja berhak atas segala sesuatu yang ada di dalam negara, termasuk harta pribadi rakyat, dan bahkan rakyat itu sendiri.

Jelas, absolutisme raja-raja Eropa tersebut menyakiti hati rakyat. Timbunan kekecewaan rakyat Eropa atas absolutisme raja dari hari ke hari tak ubahnya seperti bom waktu yang hanya menunggu detik-detik ledakan. Beberapa pemikir tampil menentang kesewenang-wenangan itu. Salah satunya, seorang filsuf dari Inggris yang bernama John Locke (1632-1704), yang menyatakan, seharusnya negara tidak diatur oleh absolutisme raja, tetapi oleh konsitusi (undang-undang). Locke juga menyatakan, negara harus mengakui hak-hak manusia yang dimiliki sejak lahir, seperti hak merdeka, hak untuk hidup, hak untuk memilih, dan hak untuk memiliki sesuatu.

Pikiran Locke yang jelas-jelas menghantam machiavellisme itu telah memancing pikiran-pikiran kritis lainnya. Seorang di antaranya adalah Montesqiueu, pemikir Prancis yang menolak pemusatan kekuasaan negara yang hanya bertumpu kepada seorang raja. Menurut Montesqiueu, kekuasaan negara harus dibagi jadi tiga, yakni kekuasaan legislatif (kekuasaan untuk membuat UU), kekuasaan eksekutif (kekuasaan unuk melaksanakan UU), dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan untuk mengadili setiap pelanggaran UU). Pokok pikiran Montesqiueu ini dikenal sebagai Trias Politica.

Kritik dari Perancis terhadap absolutisme raja, tidak hanya disuarakan Montesqiueu. Seorang pemikir Prancis lainnya, Jacques Rousseau dalam bukunya yang berjudul Du Countract Social (artinya: Perjanjian Masyarakat) menyatakan, sesungguhnya sejak lahir semua manusia merdeka dan setara. Tak hanya menentang absolutisme raja, Rousseau juga menyatakan, membela hak dan kepentingan rakyat merupakan tindakan yang sangat suci.

Kritik terhadap absolutisme raja yang diusung pemikir-pemikir masa itu telah menginspirasi banyak orang untuk mengorganisir dan memobilisasi diri guna melakukan perlawanan fisik. Perlawanan yang fenomenal terjadi di Prancis. Pada tanggal 14 Juli 1789, Penjara Bastile—yang jadi lambang absolutisme Raja Prancis—diserbu rakyat.

Penyerbuan ini mengakibatkan kekuasaan Prancis beralih kepada pemerintahan sementara yang disebut Pemerintahan Revolusi. Segera setelah itu, Pemerintahan Revolusi menghapus hak-hak istimewa yang dimiliki raja, bangsawan dan pendeta. Tak cukup di situ, Pemerintahan Revolusi juga membentuk Pasukan Keamanan Nasional dan Majelis Konstituante (Dewan Rakyat).

Selain memutuskan pelenyapan gelar kebangsawanan, Pemerintahan Revolusi juga mengumumkan pengakuan dan penghormatan hak-hak manusia dan warga negara. Pengakuan tersebut dicatat sejarah sebagai salah satu piagam hak asasi manusia.

Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan sejak masa renaissance, dan lunturnya absolutisme raja sejak Revolusi Prancis telah memperluas ruang aktualisasi personal rakyat Eropa pada umumnya.

Aktualisasi personal di bidang ilmu pengetahuan telah memicu para cendikiawan pada masa itu untuk melakukan penelitian-penelitian. Sedangkan aktualisasi di bidang ekonomi telah mendorong rakyat Eropa—terutama yang bermodal besar—untuk berwiraswasta dalam skala besar.

Minat berwiraswasta dalam skala besar tersebut bertemu dengan semangat para cendikiawan dalam melakukan penelitian. Seiring dengan laju hasil bumi yang menderas dari bumi jajahan, para pelaku wiraswasta skala besar (kapitalis) terus berpikir tidak hanya tentang bagaimana memperdagangkan hasil bumi jajahan tersebut ke pasaran Eropa. Mereka pun berpikir bagaimana hasil bumi itu diolah atau diindustrialisasi agar ragam barang dagangan mereka banyak.

Industrialisasi yang ditujukan untuk memperbanyak jenis dagangan, ternyata hanya memberi kepuasan sementara kepada pemodal besar. Mereka pun berpikir tidak hanya kepada perbanyakan jenis dagangan, tetapi juga kepada percepatan proses produksi. Sebuah industrialisasi yang dapat mengolah hasil bumi jajahan dengan proses yang singkat, dengan hasil produk yang variatif, serta kuantitas produk siap jual banyak, merupakan “kegelisahan” pemodal besar pada saat itu.

“Kegelisahan” para kapitalis ini bertemu dengan semangat para cendikiawan. Kapitalis memberikan suntikan dana bagi penelitian-penelitian para cendikiawan. Hasil dari relasi kapitalis dan cendikiawan ini adalah penemuan-penemuan yang tidak hanya membawa keuntungan bagi kapitalis, tetapi secara sosio-kultural membawa perubahan besar bagi peradaban Eropa.

Beberapa penemuan yang menonjol diantaranya adalah Spinning Jenny (alat pemintal) yang diciptakan oleh James Hargreaves pada 1762, dan penemuan mesin uap oleh James Watt pada 1796. Mesin uap merupakan penemuan fenomenal yang penting, karena membawa perubahan besar dalam dunia industri. Selain itu, banyak cendikiawan yang terinspirasi penemuan James Watt ini. Beberapa diantaranya, Richard Trevitchik penemu lokomotif tenaga uap (1804), Robert Fulton penemu kapal tenaga uap, serta Cugnot & Daimler penemu mobil tenaga uap. Oleh banyak sejarawan, penemuan mesin uap James Watt ditetapkan sebagai titik awal Revolusi Industri.

Berbagai penemuan tersebut telah menjawab “kegelisahan” kapitalis yang selalu ingin menghasilkan produk dalam dalam jumlah besar dengan cara yang murah dan cepat. Bukan cuma membuat para kapitalis jadi kaya raya, revolusi industri pun makin mengukuhkan eksistensi kelas kapitalis sebagai kelas yang penting dan berpengaruh. Revolusi industri juga berperanan memodernisasi kapitalisme. Kapitalis yang mulanya hanya berkutat sebagai produsen pengolah bahan mentah, sejak penemuan-penemuan mesin-mesin tersebut telah berubah menjadi pedagang sekaligus distributor. Ini terjadi karena ada serangkaian proses produksi yang berhasil diringkas oleh mesin-mesin mutakhir kala itu.

Kesadaran bahwa posisi mereka kian penting dan berpengaruh, telah menstimulasi kapitalis untuk mempengaruhi kebijakan penguasa negara. Pengaruh tersebut dilakukan oleh kaum pemodal agar penguasa negara makin meningkatkan intensitas kolonialisme dan imperialisme. Tujuannya jelas, kaum kapitalis ingin meningkatkan bahan mentah dari daerah jajahan dalam jumlah yang besar untuk menjamin stabilitas industrialisasi mereka, serta perolehan laba yang lebih besar. Tujuan ini bertemu dengan kebutuhan penguasa negara atas dana pengembangan kolonialisme dan imperialisme. Perluasan dan pengelolaan daerah jajahan jelas membutuhkan dana yang tidak sedikit, dan kaum kapitalis bersedia memenuhi kebutuhan tersebut asalkan tujuan mereka terpenuhi.

Dari sini terlihat bahwa intensitas kolonialisme dan imperialisme terkadang tidak hanya murni keinginan penguasa belaka, tetapi juga tercampuri oleh kemauan kelas kapitalis. Dari sini pula makin terlihat betapa eratnya hubungan antara kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme.

Sementara itu, pesatnya laju revolusi industri makin mempertinggi posisi tawar kaum pemodal terhadap kaum pekerja. Dengan menggunakan mesin-mesin hasil penemuan cendikiawan, kaum pemodal dapat melakukan proses produksi secara cepat, murah, dan dengan hasil yang lebih banyak. Penggunaan mesin-mesin ini pada gilirannya meminimalkan peranan pekerja.

Peran pekerja yang sebagaian besar telah diganti dengan mesin-mesin itu, membuat kaum pemodal berpikir tentang efisiensi dengan cara mengurangi jumlah pekerja. Besarnya jumlah pekerja yang kehilangan pekerjaanya ini telah membawa beberapa dampak. Salah satu dampaknya, kelas pemodal makin leluasa menentukan upah pekerja. Kelas pekerja yang posisi tawarnya rendah, mau tak mau menerima upah rendah yang telah ditetapkan oleh kelas pemodal. Keadaan ini makin mempertajam keesenjangan hubungan antara kaum pemodal dengan kelas pekerja.

Kesenjangan tersebut tidak hanya memicu munculnya pengangguran, kemiskinan, kejahatan serta masalah-masalah sosial lainnya. Tajamnya kesenjangan ini juga mengundang lahirnya pikiran-pikiran kritis yang menentang arogansi kaum pemodal. Akhirnya, pikiran-pikiran kritis tersebut mendorong lahirnya sebuah isme (paham), yakni sosialisme.

—Sosialisme Pra-Marx—

Secara luas, sosialisme merupakan paham yang menentang kemutlakan hak milik pribadi. Hak milik pribadi—terutama yang terkait dengan hal-ikwal produksi—diubah jadi hak komunal (masyarakat).

Dalam memperbincangkan sosialisme—terutama pada era pasca-Karl Marx—kita sulit menghindari obrolan tentang ajaran Karl Marx yang lazim disebut marxisme. Selain keterkaitannya demikian erat, marxisme menjadi mata air utama bagi sosialisme itu sendiri. Tokoh-tokoh sosialisme seperti Lenin, Stalin, dan Mao Tse Tung pun menjadikan marxisme sebagai acuan gerakan mereka.

Seperti uraian sebelumnya yang menyebutkan bahwa sosialisme lahir sebagai reaksi terhadap kapitalisme, maka sesungguhnya gagasan sosialisme ini telah ada sebelum era Karl Marx. Satu dari sekian tokoh sosialisme pra-Marx adalah seorang pelaku sejarah Revolusi Prancis yang bernama Noel Babeuf (1760-1767). Anggota Jacobin (fraksi radikal dalam Revolusi Prancis) ini menyerukan, agar kaum miskin bersatu memerangi kaum kaya. Babeuf mengemas sosialisme-nya dalam gagasan pendirian “Republik Rakyat Setara”, yakni republik yang meniadakan kelas-kelas di dalam masyarakat. Pada 1797, Babeuf menjalani hukum penggal kepala karena dituduh telah merencanakan gerakan radikal sosialis.

Yang menarik adalah sosialisme yang digagas oleh Robert Owen (1771-1858). Menjadi menarik karena sosialisme ini digagas oleh Owen yang notabene adalah pemodal. Pengusaha asal Lanark, Inggris, yang mempekerjakan sekitar 2.500 buruh ini jadi populer setelah menulis bukunya yang berjudul A New View of Society, an Essay on the Formation of Human (Pandangan Baru terhadap Masyarakat, sebuah Esai tentang Format Karakter Manusia). Owen berpendapat, karakter manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Pendapat ini tak hanya tertuang sebagai wacana dalam bukunya, tetapi juga dia praktekkan dalam kenyataan. Selaras dengan pendapatnya, Owen menutup kedai-kedai minuman yang berada di sekitar pabriknya, lantas menggantinya dengan membangun perumhan serta tempat rekreasi bagi pekerja-pekerjanya.

Owen juga menentang eksploitasi pekerja anak-anak dengan menerbitkan larangan mempekerjakan anak-anak yang berusia di bawah 10 tahun. Owen pun mendirikan koperasi konsumsi bagi buruhnya, serta membangun Labour Exchange yang berfungsi sebagai tempat penampungan bagi penganggur. Di Labour Exchange, orang-orang yang belum memiliki pekerjaan itu memperoleh bon kerja yang berfungsi sebagai gaji. Dengan cara-cara tersebut, Owen memperoleh keuntungan karena meningkatnya mutu kerja, loyalitas, serta komitmen yang dimiliki buruhnya.

Tokoh sosialisme pra-Marx yang tak kalah menariknya adalah Saint Simon (1760-1825). Agak mirip dengan Owen, sisi menarik Simon terletak pada latarbelakang dirinya. Jika Owen berasal dari kalangan pemodal, maka Simon berasal dari kalangan bangsawan Prancis. Bangsawan yang pernah jadi anggota Pasukan Sukarela Prancis untuk perang kemerdekaan Amerika itu berpendapat, Golongan III (pekerja) berkewajiban melanjutkan pengembangan masyarakat, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan industri, maka karena itu Golongan III merupakan golongan yang penting dalam masyarakat.

Menurut Simon, golongan pekerja tersebut penting juga karena golongan feodal dan bangsawan merupakan golongan parasit yang tidak menghasilkan apa-apa, dan tak berguna. Oleh sebab itu, menurut Simon, golongan borjuis masih tetap diperlukan, dan sudah saatnya kepemimpinan masyarakat dipegang oleh Golongan III

Gagasan sosialisme pra-Marx lainnya dituangkan seorang filsuf yang bernama Pierre Joseph Proudon (1809-1865). Dalam karya filosofisnya yang berjudul “Philosophi de la Misere” (Filsafat Kesengsaraan), Proudon menjelaskan, kesengsaraan tidak hanya disebabkan oleh alat-alat produksi, namun juga oleh uang dan sistem rente (hutang yang berbunga).

Proudon punya pandangan tersendiri mengenai hak milik. Menurut filsuf yang lahir dari keluarga miskin tersebut, hak milik merupakan “pencurian”. Karena itu, pemikir yang memperoleh beasiswa Akademi Beacon itu menyatakan, hak milik harus dibagikan kepada tiap-tiap individu secara merata dan sukarela, tanpa ada pemaksaan dari negara. Pandangan Proudon mengenai pembagian hak milik inilah yang disebut sebagai Pandangan Mutualisme.

Proudon tak hanya berkutat di dunia pemikiran saja. Sejak menulis “Philosophi de la Misere”, filsuf yang juga mendapatkan julukan Bapak Anarkisme Modern itu juga gigih mewujudkan konsepsi sosialisme-liberalnya secara praksis.

Tokoh sosialisme lainnya adalah Charles Fourier (1772-1837). Pemikir asal Prancis itu dalam bukunya yang berjudul “Theorie des Quatre Mouvements et Destines Generales” mengemukakan, penghuni suatu pemukiman yang berkisar antara 1600-1800 orang merupakan suatu kesatuan. Untuk itu, perlu adanya suatu wilayah atau “daerah tertentu” yang berfungsi sebagai tempat tinggal mereka. “Daerah tertentu” tersebut, menurut Fourier diperlukan agar para penghuni bisa saling berkomunikasi dengan mudah. “Daerah tertentu” itu juga ditujukan sebagai tempat kerja yang menganut sistem koperasi.

Dengan sistem koperasi, Fourier berpendapat, pemerataan akan tercipta karena lama-kelamaan tiap-tiap orang akan menjalani kehidupan yang seragam. Dalam konsepsi Fourier, pendidikan akan terjamin karena menjadi bagian dari fasilitas yang harus dibangun di dalam “daerah tertentu” yang dia cita-citakan. Tidak hanya itu, optimalisasi hasil kerja juga akan tercapai karena tempat penitipan anak bagi para pekerja juga akan dibangun di dalam “daerah tertentu” yang ia gagas. Karena konsepsinya yang teramat jauh dari kenyataan itu, Fourier dan pengikut gagasannya disebut sebagai Kaum Sosialis Utopis.

—Marx-Engels dan Sosialisme—

Karl Heinrich Marx (1818-1883) lahir di kota Trier, Jerman. Tokoh penting sosialisme yang juga bapak komunisme internasional ini, tak hanya seorang teoritikus tetapi juga organisator gerakan sosialisme Jerman.

Karena pandangan dan aktivitasnya, peraih gelar doktor filsafat Universitas Jena, Jerman, dan redaktur Rheinische Zeitung itu diusir dari Jerman. Marx pun pindah ke Paris. Di ibukota Prancis inilah Marx bertemu dengan Friederich Engels (1820-1899) yang ternyata memiliki pandangan politik yang sama.

Di paris ini pula Marx mengalami pengusiran lagi. Marx pindah ke Brussel. Di kota inilah, pada 1847 dia pertama kali menerbitkan karya pentingnya yang berjudul “The Proverty of Philosophy” (Kemiskinan Filsafat). Tahun berikutnya, bersama Engels, dia menerbitkan “Communist Manifesto”, sebuah buku yang akhirnya menjadi bacaan dunia. Pada tahun itu juga Marx kembali ke Jeman, untuk kemudian selang beberapa bulan berikutnya diusir lagi.

Setelah terusir sana-sini, akhirnya Marx menyeberang Selat Channel, dan menetap di London hingga akhir hayatnya. Di ibukota Inggris tersebut, dengan sedikit uang yang diperolehnya dari hasil pekerjaan jurnalistik, Marx masih menyempatkan diri untuk melakukan penelitian dan penulisan buku-buku tentang ekonomi dan politik.

Marx beruntung memiliki sahabat seperti Engels. Bukan cuma membantu penelitian dan penerbitan buku-buku yang ditulisnya, Engels juga membantu biaya hidup Marx dan keluarganya. Bersama Engels ini pula, Marx menghasilkan karya terpentingnya, Das Kapital.

Dalam menganalisis masyarakat, dalam mengajukan teori, dan menghasilkan karya-karyanya, Marx sangat dipengaruhi pikiran-pikiran George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831), seorang filsuf kelahiran Jerman yang berpendapat bahwa sejarah adalah perenungan yang panjang. Siapapun yang mempelajari sejarah dengan mendalam, menurut Hegel, pasti akan menjumpai “aturan-aturan tertentu” yang berlaku dalam sejarah. Yang dimaksud dengan “aturan-aturan tertentu” tersebut adalah pergulatan pemikiran dari satu era dengan era lainnya.

Menurut Hegel, pemikiran-pemikiran yang berada dalam suatu jaman biasanya diajukan atas dasar pemikiran-pemikiran yang telah lebih dahulu diajukan. Keadaan ini akan menimbulkan “pertentangan” (dialektika) di antara kedua pemikiran itu. ketegangan tersebut akan mencair bila muncul pemikiran ketiga, yang biasanya mengakomodasi hal-hal terbaik yang terdapat di dalam kedua buah pemikiran yang “bertentangan” itu.

Pemikiran pertama biasanya disebut tesa, pemikiran kedua disebut antitesa, dan pemikiran ketiga disebut sebagai sintesa. “Pertentangan” antara tesa dan antitesa, hingga melahirkan sintesa inilah yang dinamai Proses Dialektika.

Dalam dialektika, sintesa yang telah dihasilkan suatu ketika akan menjadi tesa baru, yang berarti juga bahwa suatu saat sintesa tersebut akan berhadap-hadapan dengan pemikiran baru yang menjadi antitesanya, hingga nantinya sintesa yang lebih baru akan muncul, dan begitu seterusnya.

Dari cara berpikir yang dialektis ini pula Marx menganalisis masyarakat pada jamannya. Marx mengurai bahwa dalam seluruh tahapan sejarah selalu ada pertentangan di antara dua kelas masyarakat. Marx menyatakan, pertentangan pada jaman kuno (yang diistilahkan Marx sebagai masa masyarakat budak) terjadi antara warga bebas dan budak.

Sementara dalam masyarakat feodal, Marx menyatakan, pertentangan terjadi antara para tuan tanah feodal dengan pekerja pengolah lahan. Pertentangan dalam masyarakat feodal berkembang menjadi pertentangan antara kelas bangsawan dengan warganegara biasa.

Pada gilirannya, Marx menelaah pertentangan yang ada di dalam masyarakat pada jaman dia hidup. Marx mengistilahkan masyarakat pada jamannya itu sebagai masyarakat borjuis atau masyarakat kapitalis. Menurut Marx, pertentangan dalam masyarakat borjuis akan terjadi antara kelas pemodal (kapitalis) dengan kelas pekerja (proletar). Dengan kata lain, pertentangan akan terjadi antara kelas pemilik sarana produksi dengan kelas lain yang tak memilikinya.

Pertentangan ini jelas akan menghasilkan keadaan yang tidak akan menguntungkan kelas pekerja, karena kelas pemodal akan terus melestarikan keadaan ini demi keuntungan yang mereka dambakan. Dalam pandangan Marx, kelas pemodal jelas tidak akan mau mengubah keadaan tersebut. Pertentangan yang justru mengukuhkan dominasi kelas pemodal inlah yang harus segera diakhiri, dan menurut Marx, hal inilah yang menjadi alasan dasar kenapa revolusi harus dijalankan oleh kelas pekerja agar keadaan berubah.

Karena dalam telaah sejarahnya, Marx menyatakan bahwa pertentangan antar-kelas hanya dapat diselesaikan dengan jalan kekerasan atau gerakan radikal, maka Marx dan Engels pun menyerukan agar kaum proletar bersatu, untuk kemudian merebut kekuasaan yang didominasi oleh kapitalis.

Seruan Marx dan Engels yang berbunyi, “Kaum Buruh Sedunia Bersatulah” pada masa itu menjadi semboyan yang terkenal tidak hanya bagi kaum buruh tetapi juga bagi para penganut sosialisme. Hingga kini pun semboyan itu masih populer.

Pentingnya persatuan kaum proletar dalam melawan kelas kapitalis, menurut Marx, dikarenakan kapitalisme tidak hanya akan memberi dampak buruk bagi pekerja secara ekonomis, namun juga secara psikis. Dalam pandangan Marx, kapitalisme akan menjadi persoalan bagi esensi kemanusiaan, terutama bagi esensi kemanusiaan buruh. Hal ini, menurut Marx dikarenakan lambat laun kapitalisme akan menghela kelas pekerja untuk terjerembab masuk ke dalam liang alienasi (keterasingan). Dalam kapitalisme, semua proses produksi yang harus dijalankan para buruh, justru akan membuat para buruh tidak lagi mengenali jati diri mereka sendiri.

—Teori Alienasi Marx—

Pandangan Marx atas keterasingan pekerja terhadap diri mereka sendiri—sebagai akibat dari kapitalisme—dikenal sebagai teori alienasi. Sedikit-banyak teori ini dipengaruhi oleh Hegel yang sebelumnya mengungkapkan, bahwa ketika kemauan individu gagal beradaptasi dengan kemauan yang lebih besar (dalam hal ini, kemauan masyarakat), maka individu tersebut akan mengalami alienasi (keterasingan).

Marx lebih mengaitkan teori alienasi-nya dengan pekerjaan seorang manusia, atau lebih tepatnya dengan relasi antara kapitalis dengan pekerja. Pekerjaan seorang manusia merupakan hal istimewa untuk dikaji oleh seorang Karl Marx. Sedemikian istimewanya, hingga Marx mengungkapkan hakekat sejarah pada dasarnya adalah hasil buatan manusia melalui pekerjaannya.

Demi terwujudnya revolusi yang dicita-citakan, serta demi memperkuat pentingnya melawan kapitalisme, Marx pun menuding kapitalisme-lah sebagai penyebab terjadinya keterasingan pekerja atas dirinya.

Secara garis besar, agar keinginan kapitalis untuk memacu hasil produksinya tecapai, maka kapitalis akan memacu proses produksi, serta melakukan penekanan upah pekerja. Mau tidak mau, pekerja dengan upah rendah itu akan memacunya dirinya untuk tetap bekerja demi memenuhi kebutuhannya. Kondisi ini membuat para pekerja tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan aktivitas di luar aktivitas produksi, karena secara tidak langsung aktivitas dan kepentingan pribadinya sangat dipengaruhi oleh kepentingan produksi. Keadaan tersebut akan membuat pekerja menjadi asing dengan beberapa aktivitas yang dulu dikenalinya.

Marx menyatakan, buruh hanya bisa merasakan dirinya jika dia di luar pekerjaannya. Maksud dari pernyataan Marx ini kurang lebih bermakna bahwa pekerja hanya mengenali dirinya pada saat pekerja tersebut tidak berada di dalam waktu produksi, alias pada saat ia tidak bekerja. Lantas bagaimana jika kepentingan produksi yang nota bene merupakan kepentingan kapitalis, makin mempersempit waktu luang para pekerja?

Sempitnya waktu di luar waktu produksi, menurut Marx, akan menyebabkan waktu luang tersebut dimanfaatkan pekerja untuk melakukan hal-hal yang pokok-pokok saja, seperti makan, minum, dan berhubungan seks. Keadaan ini, bagi Marx tidak hanya membuat para pekerja menjadi asing dengan dirinya sendiri, tetapi juga menjadikan para pekerja sebagai “hewan” yang hanya melakukan aktivitas demi memenuhi kebutuhan makan, minum, dan seks.

Selain membuat para pekerja hanya akan melakukan aktivitas yang pokok-pokok saja, kapitalisme juga akan menjauhkan kontribusi para pekerja terhadap kebudayaan, ilmu pengetahuan, serta hal-hal luhur lainnya yang terkadang tidak memiliki nilai ekonomis di hadapan kelas kapitalis

Satu dari sekian perbedaam hewan dan manusia adalah tujuan aktivitasnya. Hewan memiliki tujuan yang lebih sederhana, yakni memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat jasmani. Sementara tujuan manusia lebih kompleks. Selain itu, kualitas diri manusia juga sangat dipengaruhi oleh tujuan dari aktivitas yang dilakoninya. Kualitas diri manusia akan menjadi tinggi bila aktivitas yang dilakoninya tidak hanya bertujuan memenuhi kebutuhan badaniah semata, tetapi juga diorientasikan untuk kemajuan ras manusia dan tujuan luhur ke-manusia-an lainnya.

Kapitalisme dalam pandangan Marx, telah memangkas kualitas diri manusia. Marx menilai demikian, karena dalam kapitalisme, seorang manusia—dalam hal ini pekerja—hanya melakoni aktivitas produksi semata. Itu artinya, manusia hanya menjalankan aktivitas yang tujuannya untuk menggapai laju produksi yang dikehendaki pemodal. Dari sudut ini, Marx menilai, kapitalisme telah mengebiri kesempatan pekerja untuk berbuat sesuatu demi kebudayaan, dan nilai-nilai luhur lainnya yang bermanfaat bagi kemajuan peradaban. Hal tersebut terjadi karena aktivitas para pekerja telah dikondisikan sedemikian rupa oleh pemodal, agar aktivitas tersebut sepenuhnya ber-orientasi kepada tujuan produksi semata.

Kondisi yang diciptakan kapitalis itulah yang membuat pekerja menjadi asing dengan hasil pekerjaannya. Keras dan cepatnya laju produksi yang diciptakan kapitalis secara sistematis tersebut, pada gilirannya nanti akan membuat pekerja tidak lagi mempunyai “penghayatan” terhadap hasil kerjanya. Pekerja akan merasa dirinya hanya bekerja untuk menghasilkan sesuatu yang hanya “dimengerti” oleh pemodal yang mempekerjakannya, sehingga pekerja pun menjadi asing dengan pekerjaannya sendiri.

Alienasi (keterasingan) pekerja tersebut tentunya tidak dipedulikan oleh pemilik modal. Ketidakpedulian ini bersumber dari sudut pandang pemodal yang melihat pekerja hanya sebagai salah satu faktor produksi belaka, sehingga keterasingan yang nantinya menghinggapi pekerja bukan menjadi tanggungjawab yang harus dipikulnya.

Bagi kapitalis, keterasingan yang muncul itu sepenuhnya merupakan urusan buruh. Kalaupun keterasingan tersebut menyebabkan buruh menjadi berkurang produktivitasnya, maka jalan keluar yang dipilih oleh kapitalis adalah dengan memberhentikan buruh yang dihinggapi alienasi itu, lalu menggantinya dengan buruh baru yang lebih produktif. Jalan keluar seperti ini sering dipilih kapitalis, karena kapitalis cenderung memandang buruh tidak sebagai sahabat kerja yang harus dihargai dan dihormati. Kapitalis cenderung memandang buruh hanya sebagai komoditas belaka, atau hanya sebagai makhluk mekanis yang suatu saat bisa diganti bila telah aus dan rusak.

Alasan-alasan munculnya keterasingan-keterasingan yang dilahirkan kapitalisme inilah yang dijadikan dasar bagi Marx untuk meyakinkan kaum proletar dan sosialis untuk bersatu memerangi kapitalisme. Alienasi yang dipastikan Marx bakal menghinggapi pekerja, juga dijadikan dasar bagi Marx untuk membakar semangat para pekerja agar melakukan revolusi.

—Hantu Tengah Membayangi Eropa—

Tidak hanya memberi seruan yang membakar semangat buruh untuk melakukan revolusi, Marx juga meyakinkan kelas pekerja dan penganut sosialisme, bahwa suatu ketika kapitalisme akan hancur dengan sendirinya.

Keyakinan Marx ini didasarkan kepada analisisnya, bahwa pemodal dengan keuntungan yang dimilikinya akan terus memperbanyak jumlah keuntungannya dengan cara terus-menerus memacu proses produksi. Upaya memacu proses produksi ini, ditempuh dengan cara menjadikan laba yang dimiliki kapitalis sebagai modal baru. Lewat laba yang telah berubah jadi modal baru inilah kapitalis akan membeli mesin-mesin dalam jumlah banyak. Mesin-mesin yang banyak tersebut dengan kecanggihannya akan menggantikan buruh, yang pada akhirnya akan berujung kepada peningkatan jumlah pengangguran. Jumlah pengangguran yang tak berimbang dengan angka kebutuhan tenaga kerja tersebut jelas akan dimanfaatkan pemodal untuk mempermainkan upah kerja. Demi perolehan laba, pemodal akan memberikan upah yang kecil.

Kecilnya upah tersebut akan menurunkan daya beli buruh yang nota bene juga anggota masyarakat. Melorotnya daya beli masyarakat ini akan meningkatkan jumlah produk kapitalis jadi tak terbeli. Peningkatan jumlah produk yang tak terbeli ini pada gilirannya akan membuat produk-produk tersebut dari hari ke hari kian menumpuk. Penumpukan produk-produk tersebut, akan diperparah dengan biaya pengoperasian mesin yang harus tetap dikeluarkan oleh pemodal. Pada akhirnya, kondisi itu semua akan membangkrutkan pemodal, dan serta-merta meruntuhkan kapitalisme.

Menurut Marx, pada waktu kelas pemodal mendekati kebangkrutan karena over produksi, maka pada saat itulah waktu yang tepat bagi kaum proletar untuk menghancurkan kelas pemodal, dan merebut kekuasaan yang telah dikendalikan oleh kapitalis.

Dan, kepada kelas pekerja dan kaum sosialis pada eranya, Marx dan Engels meyakinkan bahwa saat yang tepat untuk menghancurkan kapitalisme itu sudah tiba.

Keyakinan Marx dan Engels atas dekatnya saat-saat kehancuran kapitalisme, serta datangnya waktu yang tepat untuk melakukan revolusi tersebut bisa kita endus dari ungkapan mereka dalam kata pembuka buku Communist Manifesto (1848). “Hantu tengah membayangi Eropa; hantu komunisme”, begitulah bunyi ungkapan Marx dan Engels.

Selain meyakinkan kaum sosialis dan proletar bahwa telah tiba saat yang tepat untuk melakukan penghancuran kapitalisme, Marx dan Engels juga meyakinkan juga meyakinkan kaum proletar dan sosialis bahwa kekerasan merupakan satu-satunya cara yang tepat untuk melaksanakan penghancuran itu.

—Masyarakat Tanpa Kelas—

Seusai penghancuran kapitalisme dengan paksa, dan setelah perebutan kekuasaan yang didominasi kapitalis, maka masyarakat akan masuk dalam suatu masa yang disebut masa transisi. Dalam masa ini akan muncul kelas baru, yakni kelas proletar yang tidak hanya menekan-paksa kelas pemodal, tetapi juga bergerak merebut kekuasaan. Dan, tentunya kelas proletar akan menggunakan kekuasaan tersebut untuk mengatur masyarakat serta segenap aspek produksi.

Sesudah itu akan muncul masa diktator proletariat, yakni suatu masa dimana kekuasaan dan semua aspek produksi yang dikuasai kaum proletar dipertahankan dengan cara membentuk partai tunggal yang menjadi satu-satunya jalan sah untuk memasuki ranah kekuasaan—bahkan sangat menentukan kekuasaan—yakni partai komunis. Demi mempertahankan keadaan-keadaan yang telah diraih lewat revolusi kaum proletar tersebut, maka Marx mensyaratkan partai komunis yang dibentuk oleh kaum proletar itu haruslah menjadi partai yang diktator.

Dengan kekuasaan yang sangat dipengaruhi oleh partai komunis yang diktator inilah kaum proletar mengambil-alih segenap aspek produksi, menjalankan pemerintahan, serta menerapkan sistem ekonomi sosialis di dalam suatu negara sosialis ataupun negara komunis.

Pada masa diktator proletariat, sarana-sarana produksi yang telah dikuasai tersebut, diarahkan oleh kaum proletar untuk pemerataan kesejahteraan bersama. Dalam kondisi ini, kelas pekerja tidak lagi mengalami alienasi, karena hasil-hasil kerjanya didedikasikan tidak hanya untuk meraup keuntungan semata, tetapi juga untuk tujuan yang lebih luhur, yakni kesejahteraan bersama atau kesejahteraan masyarakat. Marx berpendapat, dalam kondisi semacam itu para pekerja jauh lebih mengenali hasil kerja mereka. Para pekerja juga jauh memahami mengapa pekerjaan mereka harus dijalankan, untuk apa hasil kerja mereka, dan cita-cita besar apakah yang berada di balik semua aspek produksi yang mereka lakoni.

Selanjutnya, diktator proletariat akan diarahkan menuju sebuah masyarakat yang memiliki tatanan baru. Di dalam tatanan baru itu, kelas-kelas di dalam masyarakat dihapuskan. Di dalam masyarakat yang memiliki tatanan baru tersebut, karena segenap aspek produksi dikuasai secara bersama dan diorientasikan untuk kesejahteraan bersama, maka setiap orang akan dimintai menurut kemampuannya, dan akan diberi menurut kebutuhannya.

Pada akhirnya, ketika masyarakat dengan tatanan baru tersebut tercipta, dan tatanan baru tersebut telah bisa dijalankan dengan baik oleh masyarakat itu, maka perlahan-lahan keberadaan negara ditiadakan. Negara yang telah lenyap itu berganti dengan lahirnya “masyarakat komunis”, atau yang populer di kalangan sosialis sebagai “masyarakat tanpa kelas”. *****

*Oleh : Rosdi Bahtiar Martadi
Terima kasih sudah singgah di blog ID CREATIVE   «« jangan lupa tinggalkan komentarnya "thanks.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
Powered by Blogger